Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun

Wendy Haryanto
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute

Opinion – published in Bisnis Indonesia

Target pemerintah pusat untuk menyediakan akses terhadap rumah layak huni mencapai 70 persen pada 2024 memerlukan kebijakan inovatif dengan pendekatan non-konvensional. Setidaknya ada dua cara yang bisa ditempuh pemerintah jika jumlah target penyediaan huniannya sudah ditentukan. 

Pertama, sejak awal menjadikan penyediaan hunian sebagai pasar yang atraktif bagi para pengembang. Pemerintah menyediakan insentif bagi pengembang yang berpartisipasi menyediakan hunian terjangkau. Kedua, menggabungkan kewajiban pengembang.

Pasar dan insentif

Wujud insentifnya bisa berupa tambahan luas lantai yang bisa dibangun dari Koefisien Lantai Bangunan dan Koefisien Dasar Bangunan. Tambahan tersebut nantinya bisa digunakan untuk proyek lain. Bukan hanya tidak membebani pemerintah DKI Jakarta karena bukan insentif fiskal, pemerintah Jakarta justru diuntungkan. Insentif berupa tambahan intensitas ruang tergolong atraktif dan pemerintah bisa kebanjiran pengajuan dari pengembang yang ingin berpartisipasi secara sukarela di pasar penyediaan hunian terjangkau.


Setelah dipicu adanya insentif, pengembang akan berusaha menjadikan proyek hunian terjangkau yang menarik bagi pembeli. Karena semua prosesnya diurus oleh pengembang sejak awal sampai akhir termasuk penjualan, mereka akan memperhatikan lokasi pembangunan, jaringan transportasi umum yang berada di sekitar lokasi pembangunan, dan sarana publik lainnya.

Gabungkan kewajiban pengembang

Cara kedua, pemerintah bisa menggabungkan kewajiban para pengembang. Di Jakarta, kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun itu diterjemahkan dengan membangun 20 persen rumah susun umum dari luas lahan komersial.

Jika masih menggunakan kebijakan cara sekarang, maka rumah susun yang terbangun hanya sekadar memenuhi kewajiban. Skala rumah susunnya tidak masif, mayoritas berlokasi jauh dari pusat kota, dan tidak atraktif. Penggabungan pelaksanaan kewajiban pembangunan rumah susun juga lebih efektif dan efisien.

Kebijakan untuk menggabungkan kewajiban pengembang juga memiliki beberapa kelebihan. Pertama, penggabungan menciptakan “pasar” bagi pengembang yang memiliki kompetensi rumah susun umum. Sebab, pengembang yang memiliki kewajiban hampir bisa dipastikan adalah pengembang besar dengan core business yang bukan rumah susun umum. 

Para pengembang pemilik kewajiban itu harus belajar ulang untuk bisa membangun rumah susun umum yang spesifikasinya ditentukan Pemerintah DKI Jakarta. Memaksakan pelaksanaan kewajiban rumah susun umum tanpa bantuan pendekatan pasar berarti proses yang lebih lambat. Harga konstruksi unitnya juga lebih mahal karena skala pembangunan yang lebih kecil dan lokasi yang tidak atraktif.

Kelebihan kedua yakni pelaksanaan kewajiban pembangunan rumah susun yang lebih efektif dan efisien. Pembangunan yang digarap oleh pengembang dengan spesialisasi rumah susun menghasilkan perbaikan di berbagai sisi. Contohnya, perencanaan yang lebih matang.

Penggabungan kewajiban juga memungkinkan pembangunan dengan skala yang lebih besar karena kewajibannya bisa berasal dari gabungan beberapa pengembang sekaligus. Sederhananya, penyediaan hunian terjangkau yang awalnya skala “eceran” berubah menjadi skala “grosir.”

Dua kelebihan kebijakan dengan pendekatan pasar itu bisa membuat utang kewajiban pengembang bisa segera dilunasi. Per Agustus 2021, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Pemerintah DKI Jakarta memiliki piutang berupa pembangunan rumah susun.

Awal baik

Kabar baiknya, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman memungkinkan pendekatan pasar diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban pengembang. Pada aturan itu, pengembang dapat mengkonversi kewajiban pembangunan perumahan menjadi dana tunai yang dikelola oleh pemerintah. 

Peraturan Pemerintah Nomor 12 memungkinkan penerapan prinsip penyediaan perumahan yang lebih fleksibel. Regulasi tersebut bisa menjadi awal terciptanya mekanisme pasar penyediaan hunian. 

Pemerintah DKI Jakarta bisa mendapat keuntungan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12. Piutang kewajiban dari pengembang yang selama ini tertunda bisa segera terselesaikan. Selain itu, regulasi baru ini merupakan pendorong semakin perlunya Pemerintah DKI Jakarta untuk merespon Peraturan Pemerintah Nomor 12 serta membentuk badan layanan umum daerah sebagai pelaksananya agar hunian terjangkau bisa diakses oleh lebih banyak warga Jakarta.

Sederet manfaat pasti akan dirasakan warga Jakarta jika ‘uang nganggur’ berupa kewajiban ini bisa dieksekusi dengan pendekatan pasar. Masalahnya terletak pada eksekusi. Padahal, penyediaan hunian merupakan kebutuhan mendesak dan ‘uang nganggur’ tersebut merupakan modalnya. Sebab, pendekatan pasar merupakan katalis bagi hunian terjangkau yang lebih banyak, fasilitas publik yang lebih baik, transportasi umum yang lebih andal, dan taman publik yang lebih baik.

Respon kebijakan berpendekatan pasar dari Pemerintah DKI Jakarta diperlukan lantaran ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan berpendekatan command-and-control seperti yang berlaku saat ini menyebabkan implementasi tujuan mulia menjadi tidak efektif. Arah kebijakannya ke depannya bukan lagi sekadar mewajibkan pembangunan rumah susun, tapi perlu menyertai kebijakan itu dengan instrumen lain yang lebih fleksibel yakni kebijakan dengan pendekatan pasar.


News

Blogs