Kelalaian memperbaiki tingkat kemudahan berusaha akan
berakibat pada menurunnya daya saing Indonesia
di mata internasional!
Kinerja Indonesia dalam hal perizinan kontruksi dan pendaftaran properti tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia. Laporan Bank Dunia tahun 2019 tentang tingkat kemudahan berusaha (ease of doing business) menyatakan Indonesia tertinggal dalam dua aspek tersebut. Padahal, tingkat kemudahan berusaha ikut menentukan daya saing suatu negara. Tahun 2019, Indonesia berada diperingkat ke-112 dari 190 negara yang diukur Bank Dunia dalam hal kemudahan mendapatkan IMB.
Di dalam negeri, Badan Koordinasi Penanaman Modal juga mencatat penurunan nilai Penanaman Modal Asing. Sepanjang 2018, nilai investasi Penanaman Modal Asing totalnya Rp 392,7 triliun. Sedangkan pada 2017 nilainya mencapai 430,5 triliun. Untuk meningkatkan daya saing Indonesia, terutama di sektor properti dan konstruksi, pemerintah harus melakukan setidaknya tiga hal berikut ini:
Pertama, pahamilah bahwa investasi itu sangat mudah berpindah ke kota, provinsi, atau negara lain yang menawarkan lingkungan usaha yang lebih baik. Ketika investasi pergi dari suatu tempat, kerugiannya akan berupa rendahnya pertumbuhan ekonomi, hilangnya pendapatan dari pajak, dan langkanya lapangan pekerjaan. Pemerintah harus memiliki pola pikir kompetitif untuk menarik berbagai usaha dan tenaga kerja yang terbaik. Dua di antaranya yakni menawarkan kemudahan berusaha bagi pengusaha dan kualitas hidup yang tinggi bagi warga.
Kedua, pemerintah harus mempermudah proses konstruksi dengan mengurangi jumlah prosedur, hari, dan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Yang sangat memprihatinkan, di Indonesia diperlukan 200 hari untuk mendapatkan IMB untuk membangun gudang. Di Singapura, izin yang sama terbit dalam 44 hari dan di Malaysia hanya 54 hari.
Ketiga, pemerintah harus mengurangi jumlah prosedur, hari, dan biaya yang diperlukan untuk mendaftarkan sebuah properti (tanah atau bangunan). Menurut Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 100 dari 190 negara dalam hal pendaftaran properti. Biaya mendaftarkan properti di Indonesia setara dengan 8,3% dari nilai properti tersebut. Ini sangat mahal dibandingkan dengan biaya di Malaysia yang hanya 2,9% dan di Filipina 4,3%.