Dalam rangka mendukung program pemerintah tentang penyediaan hunian terjangkau, Jakarta Property Institute (JPI) memprakarsai kajian penelitian “Potensi Pemenuhan Permintaan Rumah bagi Kelas Menengah dengan Tipe Co-residence.” Untuk memberikan alternatif solusi penyediaan hunian di Jakarta. Kajian ini disusun oleh Ketua Kelompok Ilmu Perumahan dan Permukiman Perkotaan & Peneliti Adjunct Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Ar. Joko Adianto, ST., M.Ars., Ph.D, IAI.
Berikut ringkasan eksekutif kajian:
Di Jakarta, kesulitan untuk menempati hunian layak huni dengan harga terjangkau bukan hanya dialami Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), tetapi juga kelas menengah. Keterbatasan lahan perumahan dan meningkatnya harga tanah secara tidak terkendali adalah faktor utamanya. Meski begitu, kebijakan perumahan yang berlaku saat ini baru ditujukan untuk MBR saja.
Meningkatnya jumlah generasi Y dan Z di era ketidakmenentuan ekonomi dewasa ini menyebabkan mereka pun menjadi kelompok sasaran yang patut diperhatikan pemenuhan kebutuhan papannya di ibu kota. Tanpa adanya intervensi kebijakan pemerintahan dari pemerintah menyebabkan semakin banyak masyarakat yang tidak mampu membeli hunian di kota. Indeks harga rumah kecil sejak tahun 2012-2021 tercatat lebih tinggi dibandingkan rumah berukuran sedang dan besar. Jika data tersebut diproyeksikan hingga tahun 2045, maka indeks harga rumah kecil akan meningkat hingga 3,5 kali lipat dibandingkan indeks pada tahun 2012.
Semakin tingginya harga rumah yang tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan rumah tangga dan meningkatnya rasio ketergantungan kelompok usia lanjut kepada usia produktif, memunculkan sebuah tipe rumah baru, yakni co-residence. Co-residence hadir di beberapa kota sebagai alternatif solusi penyediaan perumahan dan dimaknai sebagai sebuah cara bertinggal dalam sebuah rumah lintas generasi untuk saling memberikan dukungan sosial dan finansial. Sebab, ketidakcukupan rumah bukan sekadar tentang penawaran yang lebih sedikit daripada permintaan, tetapi ketidaksesuaian antara tipe rumah yang ditawarkan dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat. (Gurran & Phibbs, 2015; Jacobs, 2015).
Simulasi potensi ketersediaan jumlah unit hunian dengan penerapan co-residence untuk kelompok non-MBR di perumahan teratur dan berada di lahan seluas 10.000 hektare menunjukkan 1.886.000 unit hunian bisa dibangun. Simulasi dihitung jika hunian dibangun secara vertikal setinggi 4 (empat) lantai.
Penataan ulang tata atur zonasi bersifat signifikan agar dapat mengadaptasi tipe hunian co-residence. Selama ini, zonasi untuk perumahan hanya diperuntukkan untuk keluarga tunggal. Sedangkan konsep co-residence membutuhkan pengukuhan regulasi bagi perumahan untuk keluarga jamak (multi-family housing) ke dalam tipe hunian yang kelak diterjemahkan ke dalam peraturan zonasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Selain itu, pembangunan hunian dengan tipe co-residence membutuhkan penyesuaian pada aspek tata ruang, sekaligus aspek sosial, pembiayaan, sistem kepemilikan termasuk sewa jangka panjang, dan perizinan.
Full report hasil penelitian: Buku Potensi Pemenuhan Permintaan Rumah bagi Kelas Menengah dengan Tipe Co-residence