Rumah untuk semua masih menjadi salah satu cita-cita abadi pemerintah yang terus diperjuangkan hingga saat ini. Di Jakarta saja, kebutuhan rumah masyarakat setiap tahunnya sekitar 800 ribu sampai 1 juta unit menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jumlah itu setara hampir 15 persen dari total kebutuhan nasional yang mencapai 6,8 juta . Kebutuhan rumah yang besar itu lalu memunculkan berbagai program pada tiap pemerintahan. Salah satunya, Program Satu Juta Rumah milik pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Masalahnya, berbagai program tersebut tak bisa langsung mengatasi kebutuhan rumah. Pemerintah hanya mampu membangun sekitar 20 persen dari kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Porsi 30 persen lainnya berupa rumah bersubsidi yang dibangun oleh pengembang dengan skema pembiayaan perumahan. Adapun sisanya, 50 persen dan menjadi porsi terbesar, dibangun pengembang dan masyarakat secara mandiri, tanpa mendapat subsidi pemerintah.
Itu artinya, biaya dan perizinan untuk proses pembelian lahan sampai rumahnya terbangun tidak dibantu pemerintah.
Untuk membangun rumah, perizinan menjadi hulu dari rangkaian proses yang harus dilalui pengembang atau masyarakat. Bagi masyarakat atau individu, membangun rumah dimulai dengan memiliki lahannya. Prosesnya bisa dari transaksi jual-beli atau warisan. Selanjutnya, mereka mengajukan Izin Mendirikan Bangunan ke pemerintah daerah sebelum memulai proses konstruksi rumah.
Bagi pengembang yang akan membangun di lahan yang cukup besar, misalnya seluas 5.000 meter persegi atau lebih di Jakarta, prosesnya tak sesederhana itu. Akuisisi atau perolehan lahan bagi para pengembang dimulai dengan pengurusan Izin Lokasi. Dasar hukumnya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi.
Di level sejajar, Izin Lokasi juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan. Kebijakan itu mengatur tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah untuk keperluan perusahaan pembangunan perumahan. Aturan itu juga memberikan kewenangan bagi kepala daerah untuk menerbitkan izin lokasi dengan ketentuan luasan tanah.
Sederhananya, Izin Lokasi merupakan upaya memberi tahu pemerintah bahwa pengembang akan membeli, membebaskan, atau mengakuisisi lahan di lokasi tertentu. Selama izin belum terbit, pengembang dilarang melakukan proses perolehan untuk lahan yang direncanakan. Dari sisi pemerintah, Izin Lokasi merupakan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan pembebasan lahan di wilayahnya.
“Kemudahan perizinan mendorong berkurangnya
kesenjangan antara ketersediaan rumah
dengan angka kebutuhannya”
A. Berbelitnya Pengurusan Izin Lokasi Hambat Pembebasan Lahan
Di Jakarta, lantaran adanya delegasi wewenang, penerbitan Izin Lokasi menjadi otoritas gubernur. Dalam setidaknya lima keputusan gubernur dan satu peraturan gubernur, Izin Lokasi disebut Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan atau SP3L. Inti kedua istilah itu sama, pengembang harus mengantongi Izin Lokasi atau SP3L sebelum membebaskan, mengakuisisi, atau membeli lahan.
Bedanya dengan pemerintah pusat, syarat pengurusan Izin Lokasi di Ibu Kota lebih ketat. Contohnya, Keputusan Gubernur Nomor 11 Tahun 1972 mengatur pengajuan SP3L wajib dilakukan untuk lahan yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi. Sedangkan dalam Permen Izin Lokasi, disebutkan lahan dengan luas kurang dari 10.000 meter persegi tak memerlukan Izin Lokasi.
Perbedaan lainnya yakni soal masa berlaku Izin Lokasi dan SP3L. Izin Lokasi berlaku tiga tahun menurut Permen Izin Lokasi. Peraturan Gubernur Nomor 209 Tahun 2016 tentang Perizinan dan Rekomendasi Pemanfaatan Ruang membatasi masa berlaku Izin Lokasi hanya enam bulan. Sayangnya dalam aturan yang sama tak disebutkan waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan izin tersebut.
Selama masa berlaku izin lokasi tersebut, pengembang melakukan pembebasan lahan. Prosesnya bisa singkat jika bidang lahan yang ingin dibeli atau dibebaskan dimiliki oleh satu perusahaan atau satu orang. Sebaliknya, ceritanya bakal sangat berbeda jika bidang lahan yang akan dibebaskan itu dimiliki oleh banyak pihak. Sebab artinya, proses negosiasi harus dilakukan satu per satu dengan pemilik lahan.
Dalam Izin Lokasi atau SP3L tercantum lokasi rinci bidang lahan yang akan dibebaskan, luas lahan yang diizinkan untuk dibebaskan, dan rencana pembangunannya. Izin Lokasi di Jakarta bisa diperpanjang jika pembebasan lahan belum rampung saat masa berlakunya habis. Keputusan Gubernur Nomor 138 Tahun 1998 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi//Lahan Bagi Perusahaan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri di DKI Jakarta mengizinkan masa berlaku SP3L diperpanjang dua kali 12 bulan.
A.1. Semakin Lama Izin Lokasi Diperoleh, Semakin Mahal Harga Jual Hunian
Meski bisa diperpanjang, pengembang sebenarnya tidak ingin pembebasan lahan yang berlarut-larut. Sebab, pembebasan lahan yang yang molor dari jadwal dan kewajiban memperpanjang masa berlaku Izin Lokasi, mengakibatkan perubahan perencanaan dan penambahan biaya dari sisi pengembang. Anggaran pembelian lahan yang dialokasikan berpotensi membengkak karena peningkatan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Persediaan luas lahan tak bakal bertambah, sedangkan kebutuhan akan perumahan akan terus ada. Itu sebabnya tiap petak lahan bersifat unik dan lokasinya kerap menjadi nilai jual yang ditawarkan pengembang. Tak ada bidang lahan dengan karakteristik yang sama sekalipun berada di satu lokasi. Pada saat yang sama, kondisi lingkungan juga berubah akibat perkembangan ekonomi suatu daerah. Perubahan itu lalu menjadi salah satu faktor pemerintah meningkatkan NJOP.
NJOP sebenarnya merupakan dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan yang dibayar Wajib Pajak atas aset lahan miliknya. Pemerintah DKI Jakarta melalui peraturan gubernur tiap tahunnya menetapkan NJOP berdasarkan potensi perkembangan wilayah. Nilainya secara historis cenderung naik tiap tahun. Dalam transaksi jual-beli lahan, pemiliknya hampir bisa dipastikan mengecek NJOP lahannya tersebut sebagai acuan penentuan harga. Meski tak bisa dipungkiri, harga lahan yang akhirnya disepakati cenderung selalu di atas NJOP.
Progres pembebasan lahan yang lambat dan kenaikan NJOP tadi membuat belanja modal untuk pembelian lahan yang dikeluarkan pengembang akan meningkat. Kenaikan belanja modal itu tercermin dari harga jual hunian yang mereka bangun kelak. Semakin lama proses pembebasan lahan, semakin tinggi pula harga lahannya. Kenaikan harga lahan inilah yang akhirnya ditanggung oleh masyarakat yang akan membeli rumah. Dalam hitungan paling sederhana, tak ada penjual yang memilih merugi. Bagian pembebasan lahan menjadi bagian pertama yang menjadi penyebab mahalnya harga hunian di suatu wilayah.
Bukan hanya untuk lahan, pembelian properti yang sudah bersertifikat dan berasal dari satu pemilik juga masih dikenakan kewajiban pembuatan Izin Lokasi. Syarat itu semestinya dihilangkan karena sudah ada dasar kepemilikan yang sah yakni sertifikat. Kewajiban pengurusan Izin Lokasi semacam itu akan meningkatkan biaya transaksi yang akan dibebankan ke pembeli.
Pemerintah DKI Jakarta menerapkan sanksi bagi pengembang yang membebaskan lahan tanpa Izin Lokasi. Pemerintah mengatur tiga sanksi alternatif ketentuan atas lahan yang dibebaskan tanpa SP3L.
Alternatif pertama, gubernur dapat menguasai lahan yang dibebaskan itu dan menentukan pemanfaatannya kelak. Alternatif kedua, gubernur menetapkan pencadangan lahan tersebut kepada pihak lain. Adapun alternatif terakhir yakni pengembang diberi kesempatan untuk mengajukan SP3L atas lahan tersebut dengan persyaratan yang mengacu pada Keputusan Gubernur Nomor 540 Tahun 1990 .
Jika menjalankan alternatif ketiga, pengembang juga dikenakan kewajiban tambahan lain. Kewajiban pertama adalah membiayai dan membangun rumah susun murah berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 540 Tahun 1990 .
A.2. Setelah Memperoleh Izin Lokasi, Pengembang Masih Dikenai Berbagai Kewajiban Lainnya
Setelah Izin Lokasi yang menjadi syarat pembebasan lahan terbit, Pemerintah DKI Jakarta menerapkan kewajiban tambahan bagi pengembang. Agar boleh membebaskan lahan, pengembang diwajibkan membiayai dan membangun rumah susun murah siap huni setara dengan 20 persen dari area komersial lahan yang dimohonkan SP3L. Adapun lokasi, jenis rumah susun, dan kriterianya ditentukan oleh gubernur.
Kewajiban pengembang atas terbitnya Izin Lokasi adalah membiayai dan membangun rumah susun murah seluas 20 persen dari total luas area komersial lahan. Tak cuma membangun rumah susun murah, mereka juga dikenai kewajiban tambahannya yang mengacu pada Keputusan Gubernur Nomor 540 Tahun 1990 . Pengembang juga diwajibkan lebih dahulu membiayai dan membangun sarana dan prasarana lingkungan. Gubernur menentukan lokasi, jenis, dan kriteria untuk tiga poin kewajiban tambahan itu.
Anda masih ingat potensi membengkaknya biaya pembangunan hunian akibat perizinan yang berlarut-larut? Kewajiban tambahan juga menghasilkan potensi yang sama.
Kewajiban tambahan berupa pembangunan rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya menambah beban belanja modal yang harus ditanggung pengembang. Meski begitu, kewajiban itu tak menjadi soal selama terjamin efektif mengurangi angka kebutuhan rumah. Di Jakarta, pelaksanaan kewajiban itu dan penyerahan rumah susun serta sarananya ke pemerintah tak semudah itu. Ada serangkaian birokrasi yang harus dilalui sebelum fasilitas-fasilitas itu terdaftar sebagai aset pemerintah. Belum lagi soal penyerahan yang terhambat karena terbatasnya tenaga pemeliharaan dari Pemerintah DKI Jakarta setelah aset itu diserahkan.
Itu sebabnya, efektivitas pelaksanaan Keputusan Gubernur Nomor 640 Tahun 1992 pun masih dipertanyakan. Per Februari 2017, Pemerintah DKI Jakarta mengumumkan piutang berupa aset dan denda senilai Rp 11,8 triliun . Nilai itu merupakan kewajiban yang harus dibayar pemilik properti atas penerbitan SP3L dan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) sejak 1972 dalam bentuk rumah susun serta sarana dan prasarana umum. Piutang itu disebut menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan DKI Jakarta tahun 2015 yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian.
A.3. Tanpa Lahan dari Pemerintah, Sulit Bagi Pengembang untuk Membangun Rumah Susun
Piutang pemerintah daerah muncul karena beberapa penyebab. Pertama, sulitnya mencari lahan di Ibu Kota. Pengembang diwajibkan membangun rumah susun murah, tapi pemerintah tidak menyediakan lahannya. Lahan itu harus disediakan oleh pengembang sendiri.
Padahal, proses mendapatkan lahan bagi pemerintah lebih mudah ketimbang pihak swasta. Proyek infrastruktur yang dilakukan pemerintah didukung Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan itu, pemerintah menitipkan uang ganti kerugian ke pengadilan negeri setempat jika pemilik lahan tak sepakat dengan nilai ganti kerugian yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, proyek infrastruktur yang direncanakan bisa segera dimulai.
Lain pemerintah, lain lagi pengembang dan pihak swasta. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 membuat pemerintah bisa terhindar dari berlarut-larutnya musyawarah untuk mencapai kesepakatan harga lahan. Bagi pihak swasta, tak ada jaminan serupa. Itu sebabnya, pembayaran kewajiban tambahan, atas penerbitan SP3L, berupa pembangunan rumah susun murah akan lebih efisien jika lahannya disediakan pemerintah.
Penyebab piutang lainnya juga berasal dari pemerintah. Pembangunan rumah susun murah menggunakan prosedur perizinan dan perencanaan yang sama dengan pembangunan rumah susun komersial. Prosesnya bisa dipercepat jika lahannya sudah disediakan pemerintah, tapi kasus ini jarang terjadi. Ini baru soal SP3L, soal rencana pengembang untuk membeli lahan. Intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah diperlukan guna memenuhi kebutuhan 800 unit rumah per tahun.
B. Kewajiban atas IPPR yang Memberatkan
Setelah progres pembebasan lahan mencapai setidaknya 75 persen, pemegang SP3L bisa memperoleh Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT). Kebijakan itu tercantum pada Pasal 19 dalam Keputusan Gubernur Nomor 11 Tahun 1972 tentang Penyempurnaan Prosedur Permohonan Izin Membebaskan dan Penunjukan/Penggunaan Tanah dan Benda di Atasnya untuk Kepentingan Dinas/Swasta di Wilayah DKI Jakarta. Tahun 2016, istilah SIPPT berubah menjadi Izin Prinsip Penataan Ruang (IPPR) berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 209 Tahun 2016 tentang Perizinan dan Rekomendasi Pemanfaatan Ruang. Setelah IPPR terbit, pemegangnya tak dapat mengalihkan izin tersebut dengan cara atau alasan apapun. Padahal, poin ini bisa menjadi salah satu inovasi perizinan.
IPPR menunjukkan kesahihan penguasaan lahan dan penggunaannya. Calon konsumen juga bisa menanyakan dokumen itu ke pengembang sebagai cara mencegah kerugian di kemudian hari. Lewat IPPR, lahan yang merupakan lokasi pembangunan menjadi terbukti secara sah dikuasai pengembang dengan adanya sertifikat lahan, bebas dari sengketa dengan pihak lain, serta kesesuaian dengan rencana kota.
B.1. Syarat Perizinan IPPR Hampir Sama dengan Syarat Izin Lokasi
Pengembang yang membeli lahan yang sudah dilengkapi IPPR seharusnya tak perlu lagi mengulang pengurusan izin akuisisi lahan dari awal. Masalahnya, di Jakarta tak ada keringanan untuk peralihan kepemilikan lahan yang sudah disertai IPPR. Proses pengurusan SP3L harus tetap dilalui. Padahal, perusahaan pemilik lahan yang baru seharusnya hanya perlu meneruskan permohonan perizinan di tahap selanjutnya.
Kemudahan semacam itu sudah tentu menghemat waktu, biaya, dan mempercepat terbangunnya hunian. Lagi pula, lahan yang sudah dilengkapi IPPR berarti sudah melewati proses pengecekan yang dilakukan pemerintah. Sebelum menerbitkan Izin Lokasi dan dilanjutkan IPPR, pengembang sebagai pemohon izin harus menyerahkan proposal proyek yang di antaranya berisi aspek rencana kota, tata cara pembebasan lahan, aspek sosial ekonomi serta lingkungan hidupnya, serta tata laksana proyek. Tak hanya itu, proposal juga harus dilengkapi peta situasi skala 1:5000, salinan akta pendirian perusahaan, dan surat pernyataan kesanggupan menyiapkan dan membangun rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Setelah persyaratan itu dipenuhi, pemerintah daerah menggelar rapat koordinasi untuk membahas permohonan Izin Lokasi itu.
Penerbitan IPPR juga sudah didahului dengan mencantumkan dokumen dan bukti keabsahan kepemilikan seperti surat tanah, pajak Bumi dan Bangunan tahun berjalan, surat pernyataan bebas sengketa, hingga rekomendasi bank. Mengulang proses perizinan dengan mengurus Izin Lokasi untuk lahan yang sudah memiliki IPPR tentu berlawanan dengan indikator Kemudahan Berusaha yang digunakan Bank Dunia untuk perizinan terkait mendirikan bangunan.
Pemegang IPPR, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penerimaan Kewajiban dari Pemegang IPPR kepada Pemerintah DKI Jakarta, diwajibkan membangun dan menyerahkan prasarana lingkungan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum. Pada poin lain dalam pasal yang sama tertulis penyediaan kewajiban sesuai yang ditetapkan dalam IPPR dan atau dokumen lainnya serta kewajiban lainnya yang ditetapkan dalam IPPR dan atau dokumen lainnya. Tak ada rincian penjelasan soal frasa “kewajiban sesuai” yang ditetapkan dalam IPPR dan “kewajiban lainnya” pada pasal tersebut.
B.2. Kewajiban atas IPPR Tidak Transparan dan Penuh Diskresi
Longgarnya frasa “Kewajiban lainnya” pada Pasal 3 dalam Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2016 memberikan kewenangan besar bagi gubernur untuk menentukan jenis kewajiban yang dimaksud, termasuk membangun rumah susun murah. Pada saat yang sama, kewenangan itu juga menciptakan potensi ketidakpastian usaha sekaligus potensi kenaikan biaya modal. Bentuk kewajiban bisa menjadi sangat beragam dan nilainya juga tak menentu yang malah bisa menjadi “bola liar” karena tak ada aturan yang baku mengenai bentuk dan waktu kewajiban tersebut. Kewajiban itu berpotensi menjadi penghambat usaha jika diminta saat kondisi perekonomian sedang sulit. Pengembang di satu sisi harus membangun proyek mereka dan masih dibayangi kewajiban tambahan yang nilainya belum ditentukan dalam aturan.
Bentuk kewajiban yang jelas dan rinci menjadi jaminan bagi pengusaha untuk ikut berperan meningkatkan perekonomian. Sedangkan aturan yang tak jelas justru bertolak belakang dengan semangat menciptakan iklim investasi yang positif. Pun jika kewajiban itu tetap dilaksanakan, biayanya bakal dibebankan ke calon konsumen. Perlu diingat, potensi-potensi pembengkakan biaya ini timbul bahkan saat tahap prakonstruksi.
Rumusan pada IPPR baru muncul pada Keputusan Gubernur Nomor 1934 Tahun 2002. Namun, aturan itu tetap bukan mengatur nilai “kewajiban lainnya.” Kebijakan itu mengatur ketentuan nilai kewajiban penyediaan bangunan rumah susun murah yang dikonversi dengan dana oleh para pengembang pemegang IPPR. Rumusannya adalah:
Pelaksanaan pemenuhan kewajiban itu dituang dalam perjanjian yang ditandatangani gubernur dan pemegang IPPR. Pasal 2 dalam Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2016 menyatakan perjanjian itu dilengkapi dengan Keterangan Rencana Kota (KRK) dan surat pernyataan kesanggupan. Lahan yang dibebaskan yang lalu menurut KRK bakal dibangun jalan dalam periode tertentu misalnya, maka luas efektifnya merupakan selisih dari total luas lahan dikurangi luas semua fasilitas umum dan sosial yang ada atau akan dibangun berdasarkan KRK.
B.3. IPPR Menyebabkan Berkurangnya Luas Lantai yang Bisa Dibangun
Sekilas tentang KRK, KRK muncul di antara kurun terbitnya SP3L dan ditandatanganinya perjanjian pemenuhan kewajiban IPPR. Pengembang mengajukan KRK untuk lahan yang menjadi lokasi pembangunan gedung kepada Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah yang diwakili Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Nantinya KRK digunakan lagi sebagai syarat teknis saat pengajuan Izin Mendirikan Bangunan.
KRK berisi paparan zona dan peruntukannya, kondisi eksisting lahan dan area sekitarnya, serta rencana pemerintah di area itu pada masa mendatang, contohnya pembangunan jalan. KRK menjadi dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.
Dari KRK pula, pengembang akan mendapat penjelasan tentang fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun di lahan tersebut, ketinggian maksimum bangunan yang diizinkan, dan luas lahan maksimum yang dapat dibangun. Poin lain yang juga tercantum dalam KRK yakni garis sempadan dan jarak bebas minimum gedung yang diizinkan, serta petunjuk rencana jalan. Lahan yang sudah atau akan dibebaskan tak boleh dibangun jika dalam KRK ada bagian yang disebut akan dijadikan jalan. Itu artinya, luas lahan komersial yang bisa dimanfaatkan berkurang dari perencanaan awal. Kompensasinya kembali pada harga jual hunian yang berpotensi meningkat.
“Studi Jakarta Property Institute sepanjang 2017
menemukan waktu pengurusan daftar persyaratan
Izin Lingkungan membutuhkan waktu 210 hari”
C. Standar Teknis yang Tak Diperlukan
Soal penyusunan rencana teknis bangunan gedung, pengembang harus memiliki Izin Lingkungan yang mensyaratkan adanya lain seperti Izin Dewatering, Izin Peil Lantai Bangunan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Analisis Dampak Lalu Lintas, dan Izin Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan. Izin dewatering sedianya ditujukan untuk kegiatan pengeringan area penggalian yang akan dimanfaatkan sebagai bangunan bawah tanah atau basement. Izin itu diberikan DPMPTSP atas rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Surat Edaran Nomor 68 Tahun 2016, saat itu namanya masih Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, menyebut izin dewatering ditujukan untuk penggalian basement. Dewatering atau pekerjaan pengeringan yang berfungsi mencegah air tanah mengganggu pekerjaan pembuatan basement. Namun, poin lain dalam edaran yang sama menyebut izin dewatering menjadi syarat terbitnya Izin Lingkungan dan Izin Pendahuluan Fondasi pada gedung dengan atau tanpa basement. Izin dewatering semestinya tak menjadi syarat wajib jika gedung yang akan dibangun tak menggunakan basement.
Sederet izin yang menjadi syarat terbitnya Izin Lingkungan itu merupakan kewenangan dari instansi yang berbeda-beda. Izin Peil Lantai Bangunan didapat dengan berkoordinasi dengan Dinas Sumber Daya Air, Analisis Dampak Lalu Lintas memerlukan rekomendasi Dinas Perhubungan. Sedangkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diurus oleh Dinas Lingkungan Hidup. Pengurusan persyaratan Izin Lingkungan itu melibatkan setidaknya tujuh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta. Pengurusannya pun dilakukan secara terpisah. Studi Jakarta Property Institute sepanjang 2017 menemukan waktu pengurusan daftar persyaratan Izin Lingkungan membutuhkan waktu 210 hari .
Setelah selesainya pengurusan Izin Lingkungan, terbitnya KRK definitif, serta ditandatanganinya perjanjian pemenuhan kewajiban atas IPPR, maka Gambar Perencanaan Arsitektur (GPA) akan disahkan oleh Tim Ahli Bangunan Gedung Arsitektur Perkotaan. Mereka ditunjuk gubernur untuk memberikan pertimbangan teknis dan meneliti rencana penyelenggaraan gedung. Proses penilaian oleh Tim Ahli itu juga seringkali membuat rencana pembangunan mundur. Saat bekerja, Tim Ahli bersama dinas terkait akan membahas persetujuan Gambar Perencanaan Arsitektur tersebut. Masalahnya, masa sidang kerap molor karena jumlah anggota yang tidak lengkap.
Setelah penilaian selesai, Tim Ahli akan menentukan hasil penilaian rencana teknis milik pengembang melalui sidang. Dokumen rencana teknis (hasil penilaian GPA) yang tidak lulus harus diperbaiki dan diajukan kembali untuk dinilai pada sidang berikutnya. Dalam proses penilaian itu, revisi dokumen rencana desain bisa terjadi beberapa kali lantaran aturan yang tak konsisten. salah satunya, regulasi tentang sistem proteksi kebakaran.
C.1. Peraturan Sistem Antisipasi Kebakaran yang Memberatkan
Perlindungan gedung terhadap ancaman kebakaran diatur oleh peraturan yang diterbitkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sampai surat keputusan Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan. Sistem proteksi kebakaran mengatur setidaknya empat hal. Keempatnya adalah ukuran elevator kebakaran, area perkerasan, ukuran koridor kebakaran, serta area berkumpul.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, mensyaratkan ukuran elevator kebakaran yang sama dengan elevator kebakaran di rumah sakit untuk semua gedung dengan ketinggian lebih dari 20 meter. Ukurannya yaitu 2.280 milimeter x 1.600 milimeter.
Padahal, menurut standar internasional elevator kebakaran berdasarkan EN 81-72:2015 ukuran elevator kebakaran yang sekaligus digunakan untuk evakuasi adalah 2.100 milimeter x 1.100 milimeter. Produsen elevator cenderung menyediakan ukuran dengan standar internasional. Perbedaan ukuran elevator yang diwajibkan regulasi di Indonesia membuat pemilik gedung, pengembang, atau kontraktor harus memesan elevator khusus dengan biaya yang lebih mahal dan menambah ongkos produksi. Akibatnya tentu bisa ditebak, kenaikan anggaran modal pembangunan hunian.
Tiap gedung juga harus menyediakan lahan perkerasan untuk area parkir mobil pemadam kebakaran. Persyaratan teknis akses pemadam kebakaran dalam Peraturan Gubernur Nomor 200 Tahun 2015 mewajibkan luas lahan perkerasan sebagai lokasi parkir mobil pemadam kebakaran minimal 6x15 meter. Untuk bangunan yang lebih tinggi, ketentuannya lebih berat. Ketentuan itu tercantum dalam aturan turunannya yakni Surat Keputusan Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Nomor 23 Tahun 2015 mensyaratkan luasnya minimal 10x18 meter untuk bangunan lebih dari 20 lantai. Ini adalah ukuran yang tidak kecil untuk lahan di kawasan perkotaan. Agar lebih efisien dalam penggunaan tanah, lahan perkerasan untuk parkir mobil pemadam kebakaran bisa dipakai bersama oleh beberapa gedung yang lokasinya berdampingan.
Ketimbang menyediakan area perkerasan untuk lahan parkir mobil pemadam kebakaran, peningkatan pengawasan terhadap komponen pencegahan kebakaran gedung, seperti pemadam api otomatis atau sprinkler, detektor asap, alat pemadam api ringan, lebih efektif. Terlebih, peningkatan pengawasan dibuat untuk mencegah terjadinya kebakaran sedini mungkin, bukan sebaliknya.