Meningkatkan kepadatan kunci hunian terjangkau di tengah kota
Kebijakan tata ruang yang bisa meningkatkan kepadatan adalah jawaban untuk mengatasi krisis hunian dan menjadikan hunian vertikal di tengah kota terjangkau. Pemerintah DKI Jakarta yang memegang kendali Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah pemeran utamanya.
Direktur Program Jakarta Property Institute (JPI) Mulya Amri dalam diskusi, bertemakan “Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota” mengatakan bahwa Jakarta sebenarnya masih punya banyak ruang untuk membangun vertikal, terutama untuk mengatasi masalah housing backlog 1,25 juta unit dengan pendanaan dari swasta.
Ia mengatakan bahwa bila diperhatikan, hanya bagian-bagian tertentu saja di Jakarta yang kepadatannya tinggi, sedang sisanya adalah masih hunian tapak. Hal ini disebabkan oleh pembatasan luas lantai melalui rendahnya Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dilakukan pemerintah.
“Rendahnya KLB membatasi supply, yang membuat harga hunian sangat mahal. Akibatnya, pekerja di Jakarta terpaksa membeli hunian jauh dari tempat kerjanya,” ujarnya di dalam diskusi, kerjasama antara JPI dan School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB).
Ia menambahkan bahwa hal ini akan menimbulkan urban sprawl dan penyakit urban lainnya seperti kemacetan dan polusi.
Menurut laporan Bank Dunia tahun ini, harga hunian di Jakarta jauh dari kata terjangkau bila mempertimbangkan tingkat pendapatan masyarakat yang lebih rendah. Harganya bahkan lebih tinggi dari pada kota-kota mahal, seperti London, New York dan Singapura.
Penyebab utama dari mahalnya harga properti adalah ketersediaan dan permintaan yang tidak seimbang. Housing backlog di Jakarta tercatat mencapai angka 1.25 juta unit di tahun 2015 sedangkan pertambahan jumlah unit tak sebanding dengan tingginya angkatan kerja baru yang masuk ke Jakarta setiap tahunnya.
Selain mempertajam regulasi, Mulya juga berharap pemerintah Jakarta aktif dalam membangun hunian, terutama untuk rumah susun murah, di lahan aset milik pemerintah daerah.
“Pemerintah punya banyak lahan di pusat kota dan strategis namun under-utilized, seperti pasar dan terminal yang bisa dikembangkan menjadi rusun dengan pasar di bawahnya,” ujarnya.
Untuk membangun rusun tersebutu, Mulya mengatakan pemerintah bisa memanfaatkan dana pengembang. Dana tersebut merupakan bagian dari kewajiban pengembang itu berupa pembangunan rumah susun yang merupakan syarat IPPR (Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Ruang).
Pemerintah Daerah mewajibkan pengembang yang membangun hunian komersil untuk membangun rumah susun bersubsidi. Namun, eksekusi kewajiban ini sering terkendala karena tidak adanya lahan. Kalaupun dibangun, lokasi rusun biasanya sangat jauh seperti di Marunda, Jakarta Utara atau Rawa Bebek di Jakarta Timur.
“Bila pemerintah daerah bisa menyediakan lahan di lokasi-lokasi strategis ini, pengembang dengan senang hati membangun rusun di sana karena bila tidak memenuhi kewajiban, ini juga akan berdampak pada pembukuan mereka,” ujarnya.
Senada dengan Mulya, Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Doni Janarto Widiantono, menekankan untuk mengatasi masalah penataan kawasan kumuh serta housing backlog di Jakarta perlu upaya yang extraordinary/business unusual.
Untuk itu pemerintah mendorong inovasi kebijakan konsolidasi tanah vertikal (KTV) di kawasan perkotaan terutama di kampung-kampung kota, kawasan di sekitar pusat ekonomi (pasar, industri dan terminal) dan hunian di sekitar tepi air (sungai, danau dan pesisir).
“DKI Jakarta saja masih ada sekitar 1.000 hektar kawasan yang tergolong kumuh yang tersebar di 118 kelurahan dari 267 kelurahan (44 persen) yang perlu dilakukan penataan,” ujarnya.
"Dengan kebijakan konsolidasi tanah vertikal ini, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat bisa berkolaborasi untuk membangun kawasan yang ada secara lebih efisien dan murah. Dengan demikian, kita akan memperoleh efek ganda yaitu menyediakan tambahan ruang hunian sekaligus mengatasi persoalan kawasan kumuh (slum improvement) serta menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan fasilitas publik lainnya,” katanya.
Berbeda dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah yang memiliki andil besar dalam ketersediaan hunian sedang menggalakkan pembangunan rumah susun dengan skema DP 0 Rupiah.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Kelik Indriyanto mengatakan bahwa pemerintah menargetkan ketersediaan 250,000 unit perumahan hingga 2022. “Namun banyak kendala yang kita hadapi, terutama ketersediaan lahan,” ujarnya.
Namun, bagi Pakar Perumahan Perkotaan dari Universitas Indonesia, Joko Adianto, pekerjaan rumah pemerintah daerah bukan hanya masalah ketersediaan, namun juga keberlangsungan kehidupan penghuni rumah susun.
“Selama ini pemerintah hanya menyediakan hunian namun tidak memikirkan operasional rusun yang bisa meningkatkan kehidupan para penghuni,” ujar Joko.
Ia menambahkan bahwa perlu ada rekayasa design dan sosial agar masyarakat yang biasa tinggal di rumah tapak bisa beradaptasi dan betah tinggal di apartemen atau rusun.
Jakarta Property Institute (JPI)
Terbentuk sejak 2015, industri properti modern. JPI melakukan penelitian, memberi rekomendasi inovasi dan praktik- praktik pengelolaan Jakarta Property Institute adalah lembaga non-profit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni dan mendorong praktik kota terbaik dari negara yang sukses, serta memfasilitasi dialog para pemangku kepentingan untuk mengatasi permasalahan di Jakarta yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan standar hidup perkotaan. Anggota JPI adalah para pelaku industri properti yang siap memberikan kontribusi optimal untuk mewujudkan Jakarta yang berkelanjutan.
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.jpi.or.id atau hubungi Corry (+6281226977668).
School of Business and Management ITB (SBM ITB)
SBM ITB didirikan pada tahun 2003 untuk menjadi sekolah bisnis dengan standar dunia. Saat ini, SBM ITB dinobatkan sebagai Sekolah Bisnis Terbaik di Indonesia versi Global Brand Magazine, UK, dan menyandang peringkat tertinggi di Indonesia dalam bidang Bisnis dan Ekonomi dari Times Higher Education.
Memiliki lebih dari 3800 mahasiswa dan 9000 alumni, SBM ITB siap mencetak pemimpin yang inovatif dengan pola pikir kewirausahaan, mengembangkan, dan menyebarluaskan pengetahuan tentang bisnis dan manajemen untuk kemajuan bisnis, pemerintah, dan masyarakat.