Jakarta bukan kota yang dirancang untuk pejalan kaki. Ketika memasuki Kota Jakarta saja sudah sulit, pejalan kaki harus meneruskan perjuangannya dengan berjalan di tengah Kota Jakarta.
Koordinasi antar pemangku kepentingan (dinas di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, pemerintah pusat, BUMN, BUMD dan swasta) sangat diperlukan untuk mewujudkan Jakarta yang lebih layak huni dan tentunya ramah pejalan kaki.
Stasiun Palmerah yang berada di Jakarta Pusat terlihat megah, padahal sebetulnya bermasalah. Di sini, tidak ada akses khusus bagi penumpang untuk dapat dengan mudah melanjutkan perjalanannya menggunakan transportasi lain.
Trotoar yang tidak memadai dan jalanan yang padat kendaraan membuat akses menuju dan keluar stasiun jadi membahayakan bagi pejalan kaki.
Setiap agen transportasi memang hanya diwajibkan untuk menyediakan moda transportasi bagi warga.
Namun, yang sering terlupakan adalah kesediaan untuk bekerja sama dengan agen transportasi lain dan pemerintah untuk membangun konektivitas antar moda.
Contoh pembangunan yang tidak memikirkan akses pedestrian, di mana pejalan kaki dibiarkan berjalan di jalan raya.
Membangun trotoar bukan semata-mata memfasilitasi pejalan kaki, namun juga memperbaiki sistem transportasi kota.
Dengan akses pedestrian yang nyaman, warga akan senang untuk naik transportasi publik yang akan berdampak positif pada berkurangnya kemacetan dan polusi kota.
Hal ini tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya koordinasi antar dinas-dinas, agen transportasi dan pihak swasta yang berkaitan.
Masih banyak pijakan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang ringkih dan berlubang, bahkan disertai dengan atap yang bocor.
Beberapa tidak aman karena sepi, tertutup dan tidak disertai penerangan yang baik pada malam hari. Bahkan, ketidakamanan ini telah memakan korban.
Ketika tidak banyak pilihan lain, mau tidak mau penumpang harus bisa menerima apa yang ada.
Melirik koridor 13 TransJakarta yang melayani rute Ciledug ke Blok M, Pancoran, dan Bundaran HI.
Tangga setara tujuh lantai hanya menambah kesengsaraan para penggunanya.
Di tengah carut-marutnya sistem transportasi Ibu kota, transportasi daring seakan menjadi penyelamat ketika menempuh jarak dekat dengan berjalan kaki saja banyak rintangannya.
Tahun 2017, Jakarta dinobatkan sebagai kota paling malas berjalan kaki oleh studi dari Stanford University.
Warga Jakarta tercatat menempuh rata-rata 3.513 langkah setiap harinya. Sedangkan, Hong Kong menempati urutan pertama dengan rata-rata 6.880 langkah per hari.
Memiliki trotoar adalah kemewahan di Jakarta. Di beberapa tempat, pejalan kaki harus bersaing dengan kendaraan di jalan raya. Ketika trotoar ada, kondisinya pun tidak jarang mengenaskan.
Ketika pejalan kaki harus berjalan di atas trotoar berlubang yang berbahaya, rendahnya peringkat Jakarta menjadi tidak mengherankan. Pembangunan infrastruktur dan transportasi di Jakarta belum memikirkan aksesibilitas pejalan kaki sebagai salah satu pihak yang harus diperhitungkan.
Zebra cross dan lampu lalu lintas yang tidak dikelola dan dipatuhi pengendara membuat keamanan pejalan kaki sangat minim.
Koalisi Pejalan Kaki mencatat satu pejalan kaki di Jakarta meninggal setiap 6 harinya.
Kini, Jakarta tengah berbenah diri. Sayang, pembangunan yang kini tengah digiatkan justru semakin mempersempit dan merusak trotoar bagi pejalan kaki. Trotoar dipenuhi dengan material bangunan yang berbahaya.
Koordinator Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) Alfred Sitorus mengatakan kepada CNN Indonesia, “Pemprov DKI Jakarta terkesan abai dengan keluhan masyarakat terkait kondisi trotoar di Jakarta.”
“Hal ini diperparah dengan kurang bersinerginya dinas-dinas yang ada di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”, lanjut Alfred.
Alfred juga menilai agar trotoar bisa terawat dengan baik, Pemprov seharusnya tegas dengan membuat izin perawatan atau perbaikan utilitas berada pada satu pintu dinas.
Bahkan, proyek perbaikan fasilitas pedestrian tidak menyediakan akses yang aman untuk pejalan kaki ketika proses pembangunan berlangsung.
Di depan gedung wakil rakyat sekalipun, pembangunan trotoarnya belum mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dengan disabilitas.
Beberapa trotoar tidak memiliki guiding block. Yang memiliki guiding block, sering kali tidak bisa digunakan karena pemasangan yang salah atau kondisi yang mengenaskan.
Ini contoh lain pembangunan yang tidak memikirkan aksesibilitas pengguna.
Walaupun palang dipasang agar terhindar dari pengendara motor, namun ini justru membuat trotoar tidak bisa dilewati oleh pengguna kursi roda dan juga menyulitkan pejalan dengan kaki timpang.
Lokasi hunian dimana masyarakat paling sering berjalan kaki justru jarang sekali menyisakan ruang untuk trotoar.
Warga harus bersaing dengan kendaraan pribadi dan motor untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti berbelanja atau berkunjung ke rumah tetangga.
Jangan heran melihat banyak orang lebih memilih naik motor untuk pergi ke minimarket yang hanya berjarak 100 meter dari kediaman, penyintas Jakarta sudah memulai perjuangannya saat melangkahkan kaki ke luar rumah.
Perlu diingat bahwa pejalan kaki memiliki hak yang sama dengan pesepeda, pengemudi, dan penumpang transportasi umum.
Pembangunan infrastruktur dan transportasi umum yang lebih terkoordinasi antar pemangku kepentingan akan dapat membantu mewujudkan Jakarta yang lebih layak huni dan ramah bagi para penyintas Jakarta.