Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi

November 27, 2019

Berbeda pendapat atau selera dengan orang tua adalah hal yang biasa. Jauhnya pautan usia seringkali membuat kita berbeda dalam memandang dunia. Mulai dari pilihan pakaian, gaya hidup, termasuk kebutuhan hunian. Bukan tanpa sebab, perbedaan ini lahir dari pengalaman dan memori yang mengisi jarak antara dulu dan kini.

Bicara soal hunian, ada perbedaan yang mendasar tentang kebutuhan dan pandangan mengenai rumah antar generasi. Rumah tapak yang lengkap dengan kebun dan pagar sudah semakin sulit diwujudkan saat ini. Namun, bisakah kita, generasi sekarang, tetap menggantungkan harapan walau sudah terhimpit zaman? 

Persepsi rumah sebagai pusat segala fungsi 

Menarik jauh ke masa lampau ketika musuh besar manusia adalah alam, rumah atau tempat tinggal mulanya berfungsi untuk berlindung dari cuaca dan binatang buas. Seiring perkembangan peradaban, rumah menjadi pusat untuk berbagai kegiatan. Istirahat, menyimpan hasil panen dan buruan, memasak, makan, bermain hingga melahirkan pun dilakukan di rumah. 

Fungsi rumah yang menampung berbagai kegiatan dan banyak anggota keluarga berpengaruh kepada ukurannya. Contohnya dapat kita saksikan pada Uma Leme, rumah tradisional di daerah Donggo, Bima, NTB. Rumah yang menjadi tempat untuk berbagai kebiasaan adat ini dilengkapi dengan bagian-bagian dengan peruntukan tertentu. Misalnya, jompa atau lumbung kecil di dekat bangunan rumah untuk menyimpan hasil panen dan satu tiang khusus di dalam rumah yang berfungsi sebagai tempat persalinan. Ada pula rumah Gadang khas Minangkabau, Sumatera Barat, yang menampung beberapa keluarga dalam satu klan. Melihat kondisi tersebut, tak heran kalau dahulu tipikal rumah banyak yang berukuran besar dengan banyak ruang. 

Rumah besar yang tak lagi relevan 

Namun, seiring perubahan zaman, ukuran keluarga semakin mengecil dan kehidupan komunal tak lagi diminati. Keluarga yang dahulu bisa memiliki lebih dari tiga anak, saat ini, jumlah itu sudah terhitung banyak. Rumah lama pun akan ditinggalkan bila sudah rusak, terlalu banyak orang, atau ingin memulai keluarga baru. 

Selain jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit, sekarang banyak kegiatan yang dipindahkan ke luar rumah. Apalagi bagi para pekerja formal yang tinggal di kota seperti Jakarta. Melahirkan serta merawat orang sakit dilakukan di rumah sakit. Tak perlu ruang khusus untuk menyimpan bahan makanan karena tinggal membeli secara berkala. Bahkan kebiasaan arisan pun sudah lebih sering dilakukan di restoran atau cafe. Penduduk kota lebih sering menghabiskan hari-hari mereka di luar daripada di dalam rumah. 

Perubahan-perubahan ini secara signifikan berdampak pada pergeseran kebutuhan ruang. Rumah yang tadinya mesti berukuran besar karena berfungsi untuk banyak kegiatan dan penghuni sudah tidak lagi demikian. Ukuran rumah mengecil, sesuai dengan kebutuhan penghuni yang menempatinya. 

Rumah, pergeseran masa dan makna 

Dengan berubahnya fungsi rumah sesuai zaman dan lingkungan, makna rumah berubah pula dalam benak antar generasi. Inilah mengapa orang tua kita, atau sebutlah generasi baby boomers, dan kita memiliki pandangan berbeda tentang rumah. 

Bagi orang tua kita, memori rumah adalah rumah tapak dengan halaman di pinggiran kota. Hal ini masih masuk akal ketika penduduk Jakarta masih berjumlah sekitar 8 juta di tahun 90-an dan harga tanah terjangkau. Memiliki rumah juga salah satu pencapaian yang mengindikasikan kemapanan ekonomi sebuah keluarga. Imbasnya, berkembangnya permukiman horizontal menjadi sebuah fenomena yang tak terelakkan. Namun, mimpi ini harus dibayar mahal oleh generasi selanjutnya. Rumah tapak akan berlokasi lebih jauh dari pusat kota, memakan waktu dengan keluarga, kesehatan, dan finansial. 

Jika dibiarkan, keinginan untuk tinggal di rumah tapak akan menjadi sebuah impian yang kian dipaksakan. Padahal, mengingat keterbatasan lahan di Jakarta, hunian horizontal sudah tidak lagi memungkinkan. Maka dari itu, banyak pekerja muda yang lebih terbuka dengan kehidupan vertikal dan perubahan kebutuhan sesuai ketersediaan untuk kualitas hidup yang lebih baik. 

Hunian vertikal untuk masa kini 

Generasi sekarang juga sudah tak lagi menganggap rumah seperti orang tua mereka. Orang tua lebih terbiasa untuk menetap, sesuai dengan pekerjaannya yang biasanya tetap juga seumur hidup. Sebab berganti pekerjaan dahulu merupakan suatu hal yang jarang, lain dengan generasi kini yang lebih mudah melakukannya. Berkat perkembangan arus informasi dan teknologi, saat ini jenis pekerjaan lebih dinamis dan bervariasi. Berpindah pekerjaan bukan jadi hal yang sulit lagi. Kaum milenial juga lebih terbuka untuk berpindah tempat tinggal mengikuti pekerjaan. 

Gaya hidup pun berubah. Rumah impian orang tua yang berada menapak pada tanah, lengkap dengan kebun dan tamannya, sudah sulit disandingkan dengan kebutuhan ruang generasi sekarang. Jika dipaksakan, hal ini malah akan menambah tanggungan psikologis dan finansial. Banyak kasus di daerah suburban, rumah dibiarkan kosong oleh penghuninya karena tak sesuai kebutuhan. Justru menjadi beban tak hanya untuk sang pemilik, tapi juga untuk lingkungannya. Keseharian pekerja kota yang padat pun kian menguras tenaga. Semakin berkurang pula waktu untuk mengurus rumah jika terlalu muluk kelengkapannya. Impian berkebun bahkan memasak sendiripun kadang sudah susah dilakukan sehari-hari. 

Generasi millenial, yang adalah pekerja muda saat ini, lebih nyaman dengan tempat tinggal yang mudah dirawat dan tak perlu terlalu banyak ruang. Akses dan mobilitas menjadi prioritas Tinggal di hunian vertikal yang berada di tengah pusat kegiatan dan lebih praktis pun jadi pilihan. Dengan demikian, tenaga dan uang yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan dan pengalaman lain seperti mencoba kuliner baru, ngobrol di kafe dan berwisata. 

Rumah menjawab kebutuhan 

Dengan memiliki rumah sesuai dengan kebutuhan, sebenarnya hidup jadi lebih fleksibel dan bijak. Kita tak lagi menyia-nyiakan ruang. Orang tua di masa depan, misalnya, seharusnya tak lagi terlalu ragu untuk pindah rumah bila memang kebutuhan ruangnya berubah. Ketika bertambah anggota keluarga, bisa pindah ke rumah atau hunian yang lebih besar. Namun, jika anak-anak mulai dewasa dan berpindah untuk sekolah dan kerja, mereka bisa kembali pindah ke ruang yang lebih kecil. Hal ini gampang dilakukan ketika tinggal di rumah vertikal. 

Kebutuhan hunian kini semakin ringkas dan praktis. Bukan hanya karena perubahan aktivitas, tapi juga karena ketersediaan lahan yang semakin menipis dan tinggi harganya. Perubahan ini membuat rumah impian juga berubah atributnya. Rumah yang menurut generasi orang tua kita dahulu dianggap ideal, sudah tak lagi relevan. Selama zaman berubah sejalan dengan waktu, kebutuhan akan selalu ikut berubah. Rumah pun selayaknya selalu menjawab kebutuhan sesuai dengan masanya.

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Interview with Noerzaman, Architect of JPO GBK (Video)
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
View More

News releases

Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
RPTRA Borobudur
DKI Jakarta Visited CLC in Singapore
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute