Studi Jakarta Property Institute (JPI) yang berlangsung selama satu tahun mendapati masih belum efektifnya pelaksanaan perizinan mendirikan bangunan di Jakarta. Hal ini disebabkan oleh 3 hal berikut:
DPMPTSP sebagai organisasi pemerintahan menghadapi tantangan berupa kebutuhan sumber daya manusia yang belum terpenuhi, tidak adanya otoritas yang cukup untuk memperbarui sistem perizinan saat ini, serta sulitnya berkoordinasi dengan SKPD lain
Regulasi yang kompleks dalam proses perizinan bangunan
Belum dilibatkannya peran swasta dalam pembuatan kebijakan
Ketiga masalah ini perlu diperbaiki secara bersamaan jika pemerintah ingin Jakarta menjadi tujuan utama bagi para investor. JPI mengusulkan tiga rekomendasi untuk mengatasi ketiga masalah di atas sekaligus memperbaiki dan meningkatkan pelayanan perizinan bangunan di Jakarta:
Perlu ada peraturan baru mengenai kerjasama DPMPTSP dengan SKPD lain
Revisi Pergub 129/2012 perlu segera ditandatangani
Perlu dibuat aturan baru mengenai standar pembuatan kebijakan
Perbaikan perizinan bangunan dapat memberi pengaruh signifikan, terutama untuk sektor properti yang memiliki 135 sektor turunan dengan kontribusi hampir 20 persen dalam pertumbuhan ekonomi di Jakarta. Langkah perbaikan harus segera dimulai untuk menghindari penurunan investasi dan turunnya angka pertumbuhan ekonomi di Jakarta.
DAFTAR ISTILAH
ACI
Asia Competitiveness Institute
BPN
Badan Pertahanan Nasional
BPTSP
Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
DCKTRP
Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan
DPMP
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
EODB
Ease of Doing Business
IAI
Ikatan Arsitek Indonesia
IMB
Izin Mendirikan Bangunan
Insgub
Instruksi Gubernur
ISI
Ikatan Surveyor Indonesia
JPI
Jakarta Property Institute
KA ANDAL
Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan
Kepgub
Keputusan Gubernur
KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi
KPPOD
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KRK
Ketentuan Rencana Kota
Permen PU
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
PKLH
Penataan Kota dan Lingkungan Hidup
PP
Peraturan Pemerintah
REI
Real Estat Indonesia
SK
Surat Keputusan
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
SLF
Sertifikat Laik Fungsi
SP3L
Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan
TABG-AP
Tim Ahli Bangunan Gedung Arsitektur-Perkotaan
UU
Undang-undang
MENGENAI STUDI JPI
Studi ini merupakan salah satu rangkaian kajian mengenai proses perizinan gedung tinggi dan padat di DKI Jakarta yang secara kontinyu dilakukan oleh JPI. Rangkaian kajian yang pertama adalah identifikasi peraturan yang berkaitan dengan proses perizinan di DKI Jakarta. Dari identifikasi peraturan, JPI menemukan adanya 12 dari 25 peraturan perizinan gedung tinggi yang bertentangan dan tidak jelas (lihat Lampiran 1 untuk penjelasan lebih lanjut).
Selanjutnya JPI bersama-sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) melakukan pembaruan terhadap aturan perizinan bangunan yang diatur dalam Pergub 129/2012 yang telah dilaksanakan selama tahun 2017. JPI turut berkontribusi dalam memberi masukan untuk merevisi Pergub ini. Masukan yang diberikan ke pemerintah berasal dari studi langsung ke negara dengan praktik perizinan yang lebih maju, kerjasama dengan organisasi maupun badan-badan internasional, dan juga bertukar pendapat dengan pakar dan praktisi di bidang terkait. Selanjutnya JPI juga akan melakukan kajian mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
LATAR BELAKANG MASALAH
Indeks kemudahan menjalankan usaha atau Ease of Doing Business (EODB) yang diterbitkan Bank Dunia kerap menjadi acuan Pemerintah Indonesia dalam memonitor performa ekonomi maupun investasi. Pada studi ini, JPI tidak hanya mengacu pada indeks ini.
Melainkan, JPI juga mengacu pada indeks kemudahan menjalankan usaha terbitan Asia Competitiveness Institute (ACI) bernama Ease of Doing Business Index on Attractiveness to Investors, Business Friendliness, and Competitive Policies (EDB Index ABC). ACI merupakan lembaga riset di bawah naungan Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP), National University of Singapore.
Posisi Indonesia pada Indeks EODB Bank Dunia
Indeks kemudahan menjalankan usaha atau Ease of Doing Business (EODB) Bank Dunia akan menjadi pertimbangan investor dalam berinvestasi di Indonesia. Menurut indeks tersebut, pada tahun 2018 Indonesia berada di peringkat 72, dari tahun sebelumnya berada di posisi 91 dari 190 negara. Namun, kenaikan peringkat ini masih di bawah target yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo, yang mengharapkan Indonesia masuk dalam peringkat 40 besar.
Dalam pengukuran indeks kemudahan menjalankan usaha, Bank Dunia mengukur 10 topik1 yang dijadikan sebagai indikator.
Salah satu kota/daerah yang menjadi sampel pengambilan data indeks EODB adalah DKI Jakarta. Pada topik pengurusan izin bangunan peringkat DKI Jakarta naik menjadi 108 (lihat Grafik 1). Di topik ini, terdapat empat indikator yang diukur, yakni lamanya waktu perizinan, prosedur yang harus dilalui, biaya perizinan, dan indeks kualitas gedung.
Dari indikator yang ada pada topik pengurusan perizinan, DKI Jakarta mengalami peningkatan peringkat pada indikator biaya perizinan. Sementara, untuk waktu dan jumlah prosedur untuk mendapatkan perizinan bangunan tidak berubah sejak 2008, yaitu masing-masing 191 hari dan 17 prosedur (lihat Tabel 1).
Grafik 1. Peringkat DKI Jakarta (Indonesia) pada topik pengurusan perizinan bangunan EODB World Bank
Sumber: World Bank Group Flagship Report Doing Business 2018
Tabel 1. Topik Pengurusan Perizinan Bangunan DKI Jakarta
Peringkat Topik Pengurusan Perizinan Bangunan DKI Jakarta di Indeks EODB
Indikator
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Waktu (hari)
191
191
191
191
191
191
191
191
191
191
191
Prosedur
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
Biaya (% gudang)
8.6
6.7
5.4
4.8
4.2
3.8
7.1
6.6
5.7
5.3
5
Indeks kualitas bangunan (1-15)
13
13
13
13
Sumber: World Bank Group Flagship Report Doing Business 2018
Performa Jakarta pada Indeks EDB Index ABC ACI
ACI telah melakukan studi mengenai kemudahan menjalankan usaha yang dilakukan pada 34 Provinsi di Indonesia. Dalam menjalankan risetnya, ACI tidak hanya mengacu pada hal-hal yang bersifat de jure seperti regulasi, namun juga de facto dengan memperhatikan sentimen bisnis terkait dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Dengan menggunakan studi ACI yang komprehensif dan berada di level regional, tentunya akan memperkaya indeks kemudahan menjalankan usaha yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.
Hasil penelitian ACI mengenai kemudahan menjalankan usaha menyebutkan bahwa pada tahun 2017, posisi DKI Jakarta turun ke peringkat 4 secara keseluruhan dari yang sebelumnya berada di posisi 2 pada tahun 2015. Meski pada lingkup Competitive Policies DKI Jakarta naik ke peringkat 19, DKI Jakarta mengalami penurunan di dua lingkup lain2 : Attractiveness to Investors dan Business Friendliness.
Kondisi Pengurusan Perizinan di Jakarta
Temuan di lapangan juga mengungkapkan bahwa prosedur perizinan bangunan di DKI Jakarta lama dan rumit. Didirikannya DPMPTSP sejak tahun 2015 belum juga menjadi solusi percepatan proses perizinan di DKI Jakarta, terutama untuk perizinan bangunan gedung di atas 8 lantai dan lebih dari 5.000 m 2.
DPMPTSP DKI Jakarta diresmikan pada tanggal 2 Januari 2015. DPMPTSP yang sebelumnya bernama Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP), merupakan suatu dinas yang menyelenggarakan kegiatan perizinan dan non perizinan secara terpadu dengan sistem satu pintu di Provinsi DKI Jakarta. Visi DPMPTSP adalah menjadi solusi perizinan warga Jakarta.
Pada awal pembentukan, DPMPTSP mengurus setidaknya 476 jenis izin dan non izin. Segala pengajuan perizinan harus dilakukan di loket DPMPTSP, sehingga DPMPTSP memiliki peran yang sangat signifikan pada proses perizinan di DKI Jakarta. Namun demikian, DPMPTSP saat ini masih harus berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain untuk menerbitkan perizinan. DPMPSTP belum memiliki kewenangan secara penuh untuk menerbitkan ke-476 jenis perizinan dan non perizinan.
Beberapa studi dan kajian mengenai DPMPTSP telah banyak dilakukan. Laporan penelitian yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2015 mengenai Perspektif Kewenangan dan Kelembagaan BPTSP DKI Jakarta3 menjelaskan bahwa BPTSP masih belum memiliki kewenangan untuk menerbitkan perizinan dan non perizinan. Hal ini menyebabkan DPMPTSP belum dapat melaksanakan pelayanan perizinan yang efektif dan efisien.
Ngalimun dkk (2016) juga menyebutkan bahwa pemerintah provinsi harus melakukan penguatan organisasi institusi dalam rangka adanya transfer kewenangan ke DPMPTSP4 . Hal ini disebabkan oleh DPMPSTP yang sering menemui banyak hambatan dalam menjalankan tugasnya, mengingat kewenangan belum seluruhnya diserahkan kepada DPMPTSP.
Banyaknya keluhan dan masalah yang dihadapi pelaksana kebijakan di lapang menginisiasi JPI untuk melakukan kajian mengenai permasalahan proses perizinan bangunan di DKI Jakarta, khususnya untuk bangunan gedung tinggi dan padat. Apalagi, masalah ini memberikan dampak kepada:
Dinas/administrator dalam eksekusi pengambilan keputusan
Praktisi dalam memutuskan peraturan mana yang akan dijadikan acuan
Pengembang/investor dalam keterlambatan pelaksanaan proyek
Konsumen dalam mendapatkan Akta Jual Beli (AJB)
Pertumbuhan ekonomi Jakarta
Kajian ini bertujuan untuk memetakan masalah perizinan gedung tinggi dan padat di DKI Jakarta. Kajian ini melibatkan pemerintah DKI Jakarta, para pakar, dan praktisi di lapangan. Kajian ini diharapkan mampu membantu pemerintah DKI Jakarta mengurai simpul permasalahan dan menjadi masukan untuk langkah kebijakan selanjutnya.
METODE PENGUMPULAN DATA
Untuk mengurai permasalahan perizinan yang ada, JPI melakukan delapan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan pemerintah DKI Jakarta seperti DPMPTSP, Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (DCKTRP), para pakar, pemilik atau pengelola gedung, serta konsultan di lapang. FGD tersebut dilakukan selama tahun 2017 dengan rincian yang dapat dilihat di Tabel 2.
Dari FGD tersebut, tim peneliti JPI menampung usulan untuk revisi Pergub 129/2012 sekaligus mengumpulkan data kualitatif untuk penelitian ini. Sebagai data sekunder, penelitian JPI juga melakukan studi dokumen literatur. Peraturan yang dikaji antara lain adalah: Pergub 129/2012, Perda 1/2014, PP 15/2010, dan SK Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta no.23/2015.
TEMUAN PENELITIAN
Studi JPI mengenai proses perizinan di DKI Jakarta menemukan setidaknya tiga aspek yang perlu menjadi perhatian utama pada pelaksanaan proses perizinan di DKI Jakarta. Tiga aspek tersebut adalah tantangan DPMPTSP sebagai organisasi, regulasi yang kompleks dalam proses perizinan bangunan, dan kurangnya keterlibatan swasta pada pembuatan kebijakan dan sosialisasi. Pemerintah perlu mengevaluasi ketiga aspek ini apabila menginginkan adanya reformasi atau pembaruan di sektor perizinan.
Tantangan DPMPTSP sebagai Organisasi Pemerintahan
Pada saat didirikan, DPMPTSP DKI Jakarta bernama Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta. Penggantian nama menjadi DPMPSTP dilakukan pada tanggal 3 Januari 2017. Pergantian nama ini dikarenakan adanya penggabungan BPTSP dengan Dinas Penanaman Modal yang sebelumnya bekerja secara terpisah. Hingga kini, DPMPTSP masih banyak menemukan tantangan dalam menjalani tugasnya.
Tantangan 1: Keterbatasan Jumlah dan Sumber Daya
Pada awal dibentuk, BPTSP DKI Jakarta tercatat mengurus lebih dari 476 jenis perizinan. Tahun 2015, BPTSP tercatat menerbitkan 4.138.000 izin, dimana dapat diartikan bahwa dalam satu hari badan ini menghasilkan lebih dari 10 ribu izin.
Bapak Iwan Kurniawan, Kepala Bidang Pelayanan Teknis DPMPTSP menyebutkan bahwa idealnya DPMPTSP membutuhkan setidaknya 3.000 pegawai agar DPMPTSP berjalan lebih optimal. Sedangkan, saat ini DPMPTSP hanya memiliki 1.200 pegawai.
DPMPTSP mengakui adanya keterbatasan sumber daya yang sejatinya berdampak signifikan pada pengurusan perizinan. Salah satu contohnya adalah adanya kekurangan sumber daya surveyor pada kegiatan pengukuran Ketentuan Rencana Kota (KRK).
DPMPTSP mengungkapkan bahwa mereka hanya memiliki 6 tim surveyor yang berasal dari eks tata ruang dan 2 tim dari Ikatan Surveyor Indonesia (ISI). Ini membuat para pengembang dan pemerintah harus menunggu ketersediaan waktu para surveyor yang tidak pasti. Lebih lanjut, ini menyebabkan proses perizinan harus tertunda untuk sementara waktu.
Selain itu, keahlian yang dimiliki oleh masing-masing surveyor tidak sama. Ini menyebabkan adanya perbedaan hasil pengukuran antar surveyor dalam proses pengukuran. Adanya keterbatasan jumlah dan keahlian sumber daya ini secara langsung akan berdampak pada semakin lamanya praktek proses perizinan di DKI Jakarta.
Tantangan 2: Kurangnya Otoritas DPMPTSP dalam Mengurus Perizinan
Permasalahan selanjutnya adalah DPMPTSP tidak mempunyai otoritas yang cukup untuk memperbarui sistem perizinan yang ada saat ini. Saat ini, DPMPTSP yang menjadi garda terdepan dalam proses perizinan berupaya untuk melakukan penyingkatan proses dan waktu perizinan. Namun, upaya tersebut masih terkendala dengan peraturan terkait perizinan yang mengharuskan pemohon untuk meminta dan mendapatkan rekomendasi tertulis langsung kepada badan/SKPD terkait. DPMPTSP seakan hanya menjadi administrator perizinan dari dinas lain.
Pelaksanaan tugas PTSP diatur dalam Perda 12/2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Perda tersebut menyebutkan bahwa kegiatan pengawasaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan perizinan dan non perizinan yang diterbitkan penyelenggara PTSP dilakukan oleh SKPD/UKPD teknis. Sehingga secara tidak langsung, DPMPTSP tidak bisa lepas dari dinas lain.
Contoh paling nyata adalah pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada SK Kepala DPMPTSP 129/2017 dijelaskan alur proses perizinan untuk mendapatkan IMB sesuai pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 dapat dilihat dari 17 prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan IMB, hanya tujuh prosedur yang dapat diurus oleh DPMPTSP secara mandiri. Tujuh prosedur itu adalah:
KRK BKPRD
Izin lingkungan
KRK Definitif
Pengesahan GPA (TABG AP)
TABG SG
TABG ME
IMB dan IMB Pondasi
Selebihnya merupakan kewenangan dari SKPD lain, seperti Dinas Sumber Daya Air, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Perhubungan. Pengurusan untuk setiap instansi ini bisa memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Gambar 1. Alur Perizinan IMB sesuai SK Kepala DPMPTSP No 129/201
Selain itu, dapat dilihat pula setiap izin yang membutuhkan koordinasi dengan SKPD lain.
Izin lokasi dan Izin Pemanfaatan dan Penggunaan Ruang (IPPR) didapatkan dari hasil sidang pimpinan Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD)
Syarat pertimbangan teknis Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikeluarkan oleh BPN
Syarat selanjutnya mengenai dewatering dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Izin Peil Lantai Bangunan (PLB) harus berkoordinasi dengan Dinas Sumber Daya Air
Kajian analisis dampak lalu lintas (Andalalin) dengan Dinas Perhubungan
Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA ANDAL), ANDAL, dan Izin Instalasi Pengolahan Air Limbah (IIPAL) dengan Dinas Lingkungan Hidup
Perjanjian pemenuhan kewajiban IPPR harus dilakukan oleh Biro Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (PKLH)
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar proses perizinan membutuhkan koordinasi dan kewenangan dari SKPD lain. Setidaknya terdapat tujuh dinas/ instansi lain yang memiliki wewenang mengeluarkan rekomendasi dan izin lainnya sebagai syarat mendapatkan IMB.
Ini seharusnya bisa dipersingkat dengan perbaikan regulasi yang dilakukan oleh DPMPTSP. Namun, hal tersebut akan sulit dilakukan apabila DPMPTSP tidak memiliki otoritas yang cukup dalam menangani perizinan.
Regulasi yang Kompleks dalam Proses Perizinan Bangunan
JPI telah melakukan dua kajian mengenai proses perizinan, yakni kajian mengenai regulasi yang mengatur perizinan bangunan dan kajian mengenai Peraturan Gubernur 129/2012. Dari kedua kajian tersebut ditemukan adanya aturan yang perlu diperjelas, inkonsistensi aturan satu dengan yang lainnya, dan adanya kekosongan aturan.
Beberapa permasalahan yang timbul akibat adanya regulasi yang bermasalah ini berdampak pada pengurusan perizinan. Setidaknya, ditemukan beberapa permasalahan, dari mulai kepemilikan Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) yang saat ini sudah berganti nama menjadi Izin Lokasi, hingga penerbitan IMB. Berikut adalah beberapa contoh masalah yang ditimbulkan dari permasalahan regulasi:
1. Aturan yang perlu diperjelas
Contoh peraturan yang perlu diperjelas adalah pada SK Kepala DPMPTSP 129/2017. Di SK ini ditemukan beberapa peraturan yang sangat rumit dan kompleks. Contohnya pada saat pengurusan izin dewatering. Dewatering adalah kegiatan pengontrolan air untuk kepentingan pengeringan areal penggalian yang akan dimanfaatkan sebagai bangunan bawah tanah atau untuk berbagai kepentingan.5 Terdapat dua kegiatan yang harus dilakukan dalam pengurusan izin dewatering, yaitu; 1) kegiatan penyelidikan tanah, dan 2) kegiatan dewatering itu sendiri.
Aturan yang berlaku saat ini masih mewajibkan adanya dewatering untuk semua gedung dengan atau tanpa basement. Para pakar menyebutkan bahwa gedung tanpa basement tidak perlu melakukan kedua aktivitas di atas. Sehingga, pengembang seharusnya tidak perlu mengurus perizinannya. Namun, secara birokrasi pengembang tetap diharuskan untuk mengurus izin dewatering. Apabila ada tahapan perizinan yang dilewatkan oleh pengembang, maka hal tersebut akan berpotensi menjadi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kemudian hari.
2. Inkonsistensi peraturan
Contoh inkonsistensi peraturan adalah mengenai perbedaan aturan mengenai penyediaan area operasional untuk hardstanding mobil pemadam kebakaran yang diatur dalam Pergub No. 200/2015 dengan SK Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan No. 23/2015. Pada Pergub 200/2015 disebutkan bahwa luas area yang diperlukan untuk hardstanding adalah 6x15 meter, sedangkan pada SK Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan No. 23/2015 untuk area hardstanding mobil pemadam kebakaran diperlukan area 10x18 meter. Pada saat sidang TABG, seringkali perwakilan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan meminta agar penyediaan area hardstanding disesuaikan dengan bunyi SK tersebut. Padahal, SK tidak memiliki kekuatan hukum kecuali sudah menjadi Instruksi Gubernur atau Peraturan Gubernur.
3. Kekosongan aturan
Kekosongan aturan terdapat pada peraturan mengenai formulasi perhitungan denda/sanksi administratif untuk pemilik gedung yang melakukan konstruksi sebelum IMB keluar. Peraturan mengenai retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah Perda DKI No 1/2015 yang merupakan Perubahan Perda DKI No 3/2012. Namun, pada Perda DKI 1/2015 formulasi perhitungan denda/sanksi administratif dihapus dari Perda tersebut.
Ini baru sebagian contoh masalah yang merugikan pelaksana maupun penegak aturan. Dari sisi pengembang atau perancang akan mengalami kemunduran dan makin lamanya proses perizinan yang dijalani. Dari sisi pemerintah, penegakan hierarki peraturan perizinan yang seharusnya diikuti pun akan semakin rancu. Selain itu, dari sisi konsumen atau masyarakat juga akan mengalami kerugian dengan adanya penundaan mendapatkan Akta Jual Beli (AJB) dari pengembang.
Pemaparan di atas pun baru merupakan permasalahan dalam tahap perencanaan pendirian bangunan. Kendala lain tentunya akan bertambah di tahap berikutnya, yaitu tahap pelaksanaan dan tahap pengawasan. Namun, dengan gambaran di atas setidaknya teridentifikasi bahwa sejak tahap perencanaan sudah cukup banyak kendala yang dihadapi oleh perancang atau pemilik bangunan.
Kurangnya Keterlibatan Swasta dalam Proses Pembuatan dan Sosialisasi Kebijakan
JPI telah mengikuti jalannya revisi Pergub 129/2012 yang di inisasi oleh DPMPTSP. Member JPI turut serta memberikan masukan dan saran kepada perbaikan peraturan perizinan. Namun, hingga saat ini Pergub 129/2012 belum juga diterbitkan.
Menyusul revisi Pergub 129 yang belum diterbitkan, DPMPTSP mengeluarkan SK Kepala DPMPTSP mengenai Alur Proses Perizinan di Bidang Ketataruangan, Kajian Lingkungan dan Pembangunan untuk Kegiatan Pembangunan. DPMPTSP mengambil langkah ini untuk mengisi kekosongan aturan penerbitan IMB.
Namun, yang disayangkan adalah tidak adanya sosialisasi SK Kepala DPMPTSP mengenai Alur Proses Perizinan pada khalayak dan pihak yang terlibat mengenai peraturan baru ini, seperti perencana, arsitek, dan pengembang.
Pihak DPMPTSP merasa sudah mensosialisasikan aturan ini kepada Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta. Namun, ini belum cukup memenuhi representasi pelaksana kebijakan secara menyeluruh. Perencana, arsitek, pengembang, dan pemilik gedung tinggi sebagai pemegang kepentingan justru tidak diberikan informasi mengenai pemberlakuan SK terkait.
Tidak adanya sosialisasi menyeluruh akan mengakibatkan sulitnya proses transisi dari aturan sebelumnya ke aturan baru. Ini juga akan menyulitkan staf DPMPTSP karena harus menjelaskan hal yang sama berulang kali kepada praktisi dan pemohon perizinan.
Contoh lain tidak adanya keterlibatan swasta dalam pembuatan dan sosialisasi kebijakan pemerintah adalah ketika diterbitkannya SK Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta No 57/2016. Kendatipun kegiatan sosialisasi, swasta sama sekali tidak mengetahui adanya pembuatan SK tersebut.
Pemerintah sudah seharusnya menampung aspirasi swasta dan praktisi sebagai pelaksana aturan yang tentunya mengetahui kondisi lapang dengan baik. Sehingga, aturan yang dibuat dapat menjadi lebih realistis dan juga dapat menjawab masalah dan tantangan yang dihadapi para pelaksana aturan di lapangan.
Tabel 2. Kaleidoskop FGD JPI
Kegiatan
Tanggal
Stakeholders
FGD 1
15-16 Desember 2016
DPMPTSP, DCKTRP
FGD 2
22-23 Desember 2016
DPMPTSP
FGD 3
2-3 Februari 2017
DPMPTSP
FGD 4
12 April 2017
DPMPTSP, Member JPI
FGD 5
17 Mei 2017
DPMPTSP, Member JPI
FGD 6
30 Agustus 2017
Member JPI, IAI
FGD 7
15 September 2017
Member JPI, IAI
FGD 8
3 Oktober 2017
Member JPI, IAI
FGD 9
2 November 2017
DPMPTSP, Member JPI, IAI
REKOMENDASI
Berdasar pembahasan di atas, berikut adalah rekomendasi JPI untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan perizinan mendirikan bangunan gedung di Jakarta.
Perlu Ada Peraturan Baru Mengenai Kerjasama DPMPTSP dengan SKPD Lain
Aturan mengenai kerjasama antara DPMPTSP dengan SKPD lain perlu diterbitkan. Peraturan ini akan mengatur mengenai kewenangan, hak dan kewajiban dari masing-masing SKPD pada proses perizinan. Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan adalah dengan menempatkan beberapa perwakilan SKPD terkait ke DPMPTSP untuk mempermudah koordinasi dan komunikasi. Hal ini juga akan mempersingkat waktu dan prosedur perizinan. Adanya peraturan ini juga akan mengurangi konflik antar SKPD.
Revisi Pergub 129/2012 Perlu Segera Ditandatangani
Perizinan mendirikan bangunan untuk bangunan tinggi dengan kriteria tertentu perlu diatur secara terpisah dengan bangunan lainnya. Ini berdasar pertimbangan tingkat kompleksitas bangunan untuk memudahkan perujukan regulasi.
Selain itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan DPMPTSP adalah dengan membuat alur perizinan gedung tinggi yang bisa dilaksanakan secara paralel, agar proses perizinan tidak memakan waktu lama akibat tersendat di salah satu proses.
Penghapusan beberapa ketentuan IMB untuk gedung tinggi juga perlu dilakukan. Beberapa aturan pada Pergub 129/2012 dirasa sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Maka, diperlukan revisi untuk aturan-aturan teknis seperti andalalin, peil lantai bangunan, dan dewatering yang dirasa sudah tidak diperlukan lagi melihat kondisi kemacetan dan intensitas banjir yang sering terjadi di DKI Jakarta.
DPMPTSP juga harus bersifat proaktif terhadap cepatnya laju pertumbuhan. Adanya kemajuan teknologi yang dapat memudahkan pembangunan harus diimbangi dengan peraturan yang mutakhir agar proses perizinan dapat berjalan dengan baik.
Perlu Dibuat Aturan Baru Mengenai Standar Pembuatan Kebijakan
Pembuatan peraturan baru ini untuk menampung aspirasi para praktisi dan pemangku kepentingan di lapang. Sehingga, peraturan yang baru tidak hanya memudahkan penegak kebijakan, tapi juga para pelaksana kebijakan. Perlu juga diatur mengenai responden atau peserta dalam kegiatan sosialisasi yang akan dilakukan oleh pemerintah saat aturan selesai dibuat agar informasi mengenai kebijakan baru dapat terdistribusi secara menyeluruh. Standar pembuatan kebijakan akan menjadi acuan SKPD dalam melakukan pembuatan/revisi aturan, sehingga penerbitan aturan baru akan lebih terarah dan sesuai dengan pedoman yang berlaku.
Demi kepentingan bersama, semua permasalahan di atas perlu ditangani secara bersamaan. Ketiga rekomendasi di atas dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan mutu pelayanan perizinan di DKI Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1: Mapping Regulasi mengenai Perizinan Bangunan di Jakarta
Lampiran 2: 25 regulasi yang mengatur mengenai perizinan bangunan di DKI Jakarta
No
Regulasi
Tentang
1
UU 26/2007
Penataan Ruang
2
UU 28/2002
Bangunan Gedung
3
PP 15/2010
Penyelenggaraan Penataan Ruang
4
PP 36/2005
Peraturan pelaksanaan UU No 28 tahun 2002
5
Permen PUPR 25/2007
Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung
6
Permen PUPR 5/2016
Izin Mendirikan Bangunan Gedung
7
Permen PUPR 26/2008
Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
8
Permendagri 32/2010
Pedoman pemberian Izin Mendirikan Bangunan
9
Perda 1/2012
Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
10
Perda 3/2012
Retribusi Daerah
11
Perda 1/2014
Rencana Detail Tata Ruang an Peraturan Zonasi
12
Perda 1/2015
Perubahan Perda No 3/2012
13
Perda 7/2010
Bangunan Gedung
14
Pergub 200/2015
Persyaratan Teknis Akses Pemadam Kebakaran
15
Pergub 129/2012
Tata Cara Pemberian Pelayanan di Bidang Perizinan Bangunan
16
Pergub 209/2016
Perizinan dan Rekomendasi Pemanfaatan Ruang
17
Pergub 5/2016
Pembentukan, organisasi dan tata kerja unit pengelola rumah susun
18
Pergub 210/2016
Pengenaan kompensasi terhadap pelampaun nilai koefisien lantai bangunan
19
Pergub 210/2016
Pelaksanaan peraturan daerah no 12 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu
20
Kepgub 540/1990
Petunjuk pelaksanaan pemberian surat persetujuan prinsip pembebasan lokasi/lahan atas bidang tanah untuk pembangunan fisik kota di DKI Jakarta
21
Kepgub 640/1992
Ketentuan pembebasan lokasi/lahan tanpa izin dari Gubernur Kepala DKI Jakarta
22
Kepgub 76/2000
Tata Cara memperoleh Izin Mendirikan Bangunan, Izin penggunaan bangunan dan kelayakan menggunakan bangunan di propinsi DKI Jakarta
23
Insgub 68/2015
Penyediaan jaringan utilitas gas pada bangunan gedung
24
Buku BPTSP
Pedoman Teknis Tata Bangunan dalam Pemanfaatan Ruang Tata Kota BPTSP
25
SK Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan No 23/2015
Petunjuk Teknis Pemeriksaan Keselamatan Kebakaran pada Bangunan Gedung
Sepuluh topik yang menjadi indikator pengukuran EODB Bank Dunia adalah: memulai usaha, pengurusan perizinan bangunan, akses ke listrik, pendaftaran properti, akses kredit, perlindungan investor kecil, membayar pajak, perdagangan lintas batas, penegakan kontrak, dan penyelesaian kebangkrutan. Sepuluh topik ini memilik bobot yang sama dalam pengukuran indeks EODB.
Pada lingkup Attractiveness to Investors, DKI Jakarta mengalami penurunan peringkat dari yang semula berada di posisi 1 pada tahun 2015, ke posisi 3 di tahun 2017. Pada lingkup Business Friendliness, peringkat DKI Jakarta turun dari posisi 2 di tahun 2015 ke posisi 7 di tahun 2017.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Foreign and Commonwealth Office (FCO) British Embassy. Laporan Penelitian: BPTSP di Provinsi DKI Jakarta: Perspektif Kewenangan dan Kelembagaan.
Ngalimun, dkk. (2016). Innovation in Regional Public Service for Sustainability: One Door Integrated Service Bureaucracy Known as (PTSP) in Indonesia.