Hunian yang layak merupakan salah satu hak dasar manusia. Di Jakarta, hunian yang layak seringkali tidak terjangkau. Sebenarnya, bisakah ‘layak’ dan ‘terjangkau’ hadir bersamaan dalam bentuk hunian dan tanpa mengorbankan salah satunya?
Darurat hunian menjadi satu dari sekian persoalan Jakarta. Mahalnya harga rumah hingga keterbatasan lahan tergolong problem laten yang harus diselesaikan supaya dampaknya tak membesar. Salah satu solusinya, menambah suplai hunian dengan pembangunan lebih banyak hunian vertikal di Jakarta.
Sayangnya, ini sulit diwujudkan karena adanya Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang membatasi jumlah area lantai yang bisa dibangun. Secara sederhana, pengertian Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas lahan lahan perencanaan.
Dengan kata lain, Koefisien Lantai Bangunan adalah angka yang menentukan batas jumlah area lantai yang diperbolehkan untuk dibangun. Angka Koefisien Lantai Bangunan bisa dilihat pada Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dan cara menghitung Koefisien Lantai Bangunan adalah dengan membagi luas seluruh lantai bangunan dengan luas lahan perencanaan. Contohnya, jika luas lahan perencanaan sebesar 1.000 m² dan lahan yang bisa dibangun 50% dengan angka KLB 4. Maka luas area lantai yang bisa dibangun yaitu 4.000 m² atau 8 lantai.
Terkait dengan darurat penyediaan hunian di Jakarta, keterbatasan lahan membuat hunian vertikal hanya mungkin dibangun dengan peningkatan Koefisien Lantai Bangunan. Peningkatan Koefisien Lantai Bangunan ini diperlukan karena data lima tahunan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat Jakarta kekurangan hunian (backlog) 1,2 juta unit. Ini baru jumlah rumah tangga ber-KTP Jakarta yang tidak memiliki hunian sendiri.
Jumlah di atas belum ditambah dengan pendatang atau rumah tangga yang tidak ber-KTP Jakarta, tapi tinggal dan bekerja di Jakarta serta tidak memiliki hunian. Dengan begitu, jumlah backlog kemungkinan lebih besar lagi. Alasan lainnya, Jakarta tetap menjadi magnet urbanisasi yang menarik para pendatang. Kedatangan penduduk baru membuat Jakarta tetap kompetitif dan semarak ekonominya. Tapi, siapkah Jakarta menyediakan ruang bagi warga?
Menampung warga Jakarta berarti menyediakan hunian yang layak dan murah. Pembangunan hunian vertikal di Jakarta menjadi opsi yang wajib dipertimbangkan pemerintah untuk merumahkan warganya. Sebab, dengan memajukan vertical development di Jakarta, pemerintah dapat menyelesaikan sekaligus dua masalah menahun yang dialami Jakarta, yaitu kekurangan hunian dan keterbatasan lahan.
Harga lahan adalah faktor terbesar yang menentukan harga satu unit rusun di Jakarta, bukan biaya konstruksi. Karena lahan terbatas (baca: mahal), maka lahan yang sudah ada harus ditingkatkan kepadatannya. Kalau tidak, tingginya harga lahan hanya akan membuat harga hunian jadi sangat mahal dan tidak terjangkau.
Solusi atas mahalnya harga lahan bisa berupa kerja sama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan sektor swasta. Kerja sama itu menjadi sarana bagi pengembang untuk melaksanakan kewajiban mereka untuk membangun rumah susun murah. Di sisi lain, suplai hunian terjaga dan membuat harga rumah stabil sekaligus mengatasi keterbatasan lahan.
Mari menghitung dengan anggapan harga satu unit rumah susun murah di Jakarta yang luasnya 24 meter persegi adalah Rp 350 juta, sesuai ketentuan Pemerintah DKI Jakarta. Apakah bisa rusun dengan harga itu disediakan dekat pusat kota Jakarta? Jawabannya: bisa! Tapi, di lahan tersebut harus diizinkan untuk membangun lantai lebih luas. Dengan kata lain, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) mesti dinaikkan.
Contoh konkretnya, di kampung Karet, Segitiga Emas, misalnya. Berjarak sekitar 500-600 meter dari Jalan Sudirman atau Jalan Rasuna Said, harga lahan mencapai Rp 50 juta per meter persegi. Agar sebuah unit rusun seluas 24 meter persegi dapat dijual dengan harga Rp 350 juta (seharga rusun murah di Jakarta), tanpa subsidi dari pemerintah, maka plot lahannya perlu diberikan Koefisien Lantai Bangunan sebesar 14. Ini dengan asumsi biaya konstruksi Rp 8 juta per meter persegi (harga pasar), tidak ada biaya perizinan bangunan (IMB) yang memberatkan, dan developer-nya tidak mengambil untung.
Kalau pemerintah bersedia memberi Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sebesar 14 untuk lahan di Kampung Karet, maka rusun murah di wilayah strategis Jakarta seharga Rp 350 juta bisa dibangun hampir tanpa subsidi pemerintah. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) 14 bukanlah hal yang aneh. Dengan asumsi luas lahan 2.500 meter persegi, maka bangunan rusun tersebut mungkin akan setinggi 35 lantai. Kalau dikelola dengan baik, tidak ada masalah, dan penyediaan rumah susun murah di Jakarta pun dapat diwujudkan.
Agar ini bisa terjadi, peraturan seperti Rencana Detail Tata Ruang, yang menetapkan batas kepadatan bagi tiap-tiap daerah di Jakarta, mesti diubah. Koefisien Lantai Bangunan masing-masing persil/gedung mesti ditambah. Kepadatan mesti ditingkatkan, agar harga lahan yang mahal dapat dibagi-bagi untuk ditanggung oleh lebih banyak unit rumah susun.
Sayangnya, saat ini pemerintah daerah seperti masih alergi pada peningkatan Koefisien Lantai Bangunan. Dikhawatirkan daya dukung Jakarta tidak akan mencukupi, kalau KLB (kepadatan) bertambah. Padahal meningkatkan daya dukung tanpa merusak lingkungan justru adalah tugas pemerintah. Kalau keberadaan bangunan dan fungsi baru dikhawatirkan mengakibatkan kemacetan, maka pemerintah bertugas membangun sistem transportasi publik massal. Kalau penggunaan pompa air oleh masyarakat dikhawatirkan mengakibatkan penurunan muka tanah, maka pemerintah bertugas membangun sistem penyediaan air minum yang berfungsi baik dan berdaya jangkau luas.
Di saat perubahan RDTR untuk meningkatkan Koefisien Lantai Bangunan berjalan setengah hati, angin segar justru datang dari Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit (TOD). Peraturan tentang transit oriented development (TOD) ini mendorong fungsi ruang campuran dan intensitas pemanfaatan ruang yang lebih tinggi di kawasan-kawasan TOD.
Jakarta pun telah mengeluarkan peraturan untuk mendukung pelaksanaan TOD, yaitu Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 67/2019 tentang Penyelenggaraan Kawasan Berorientasi Transit. Sejalan dengan upaya mewujudkan hunian terjangkau di Jakarta, Pergub ini mensyaratkan dibangunnya rusun murah di dalam setiap persil lahan di kawasan TOD, termasuk di samping gerbang masuk ke MRT Jakarta. Lalu, bagaimana dengan harga lahan yang sangat tinggi di Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin?
Seperti diilustrasikan di atas, secara prinsip tingginya harga lahan dapat diatasi kalau pemerintah bersedia mengalokasikan Koefisien Lantai Bangunan yang lebih tinggi. Tapi berapa Koefisien Lantai Bangunan yang harus dialokasikan kalau ingin membangun rusun murah di pinggir Jalan Sudirman atau Jalan Thamrin? Dengan asumsi Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 100 juta per meter persegi, maka KLB yang harus diberikan adalah 33. Kabar buruknya, KLB sebesar 33 tidak realistis untuk rusun murah. Masih dengan asumsi total luas lahannya 2.500 meter persegi, maka bangunannya mungkin akan setinggi sekitar 80 lantai. Padahal bangunan paling tinggi di Jakarta saat ini adalah Menara Westin di Jalan H.R. Rasuna Said dan Menara Treasury di SCBD dengan ketinggian 60-70 lantai.
Beralih dari pusat bisnis, pembangunan hunian vertikal di Jakarta juga bisa dilakukan di lokasi-lokasi lain. Pemanfaatan lahan milik Badan Usaha Milik Daerah seperti pasar, misalnya, dapat meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan lahan di pusat kota. Sebutlah Pasar Senen milik PD Pasar Jaya di bilangan Jakarta Pusat. Dengan menerapkan vertical development, bukan tidak mungkin jika bagian bawah bangunan difungsikan sebagai pasar dan bagian atasnya dikembangkan sebagai kawasan hunian. Fungsi pasar bisa didukung oleh kehadiran para penghuni dan hunian pun bisa dihidupi oleh keberadaan pasar.
Ide pengembangan Pasar Senen ini kurang lebih sudah terwujud di Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Kawasan Pasar Rumput yang tadinya hanya berfungsi sebagai pasar, kini telah menjadi bangunan mixed-use dengan ditambahkannya hunian vertikal di atas bangunannya. Kompleks rusun tersebut juga sudah terintegrasi dengan halte Transjakarta Pasar Rumput. Tak hanya itu, dalam radius sekitar satu kilometer dari Rusun Pasar Rumput terdapat Stasiun Manggarai. Ke depannya, bukan tidak mungkin kalau rusun murah untuk warga Jakarta juga dibangun di atas lahan-lahan BUMD lain seperti terminal.
Pemanfaatan lahan secara optimal dengan meningkatkan kepadatannya adalah keniscayaan. Di Jakarta, penambahan jumlah penduduk akibat urbanisasi bukan tak mungkin terus terjadi. Pun jika ibu kota pindah dari Jakarta, daya tarik Jakarta tak otomatis redup karena lebih dari 85 persen perekonomian atau PDRB Jakarta digerakkan oleh sektor swasta.
Oleh karena itu, kerja keras untuk mewujudkan lebih banyak hunian terjangkau di Jakarta harus terus ditingkatkan. Salah satu jalan untuk mengatasi mahalnya harga lahan adalah meningkatkan intensitas penggunaan lahan dengan cara meninggikan Koefisien Lantai Bangunan di pusat kota, dan mencegah pembangunan di tempat-tempat yang seharusnya dilindungi.