PART I
Dalam pidato pelantikannya, Gubernur Anies Baswedan menyebut kata-kata kota kolaboratif sebagai salah satu visinya dalam membangun Jakarta. Sebetulnya, apa yang dimaksud dengan kota kolaboratif?
Definisi kota kolaboratif sederhana, yaitu “kemitraan antara sektor publik dan swasta untuk mewujudkan tujuan bersama”. Kota kolaboratif sudah menjadi konsep di banyak kota, terutama kota-kota yang berada di negara maju.
New York melakukannya di bawah kepemimpinan walikota Michael Bloomberg. Pada kepemimpinannya, Ia melibatkan warga, organisasi non-profit, dan pebisnis untuk berpartisipasi dalam membentuk kebijakan kota. Sedangkan, Kota Singapura mewujudkan kota kolaboratif dengan mempermudah proses perizinan apabila pembangunan sudah sesuai dengan rencana kota.
Mendengar cerita di atas, sebagian orang mungkin akan berpikir, “Jakarta itu berbeda dengan New York dan Singapura!”. Lantas, bagaimana caranya pemerintah bisa menerapkan konsep ini di Jakarta sesuai visi pak Gubernur?
Memberi insentif kepada si taat hukum
Untuk mewujudkan visi ini, pemerintah DKI Jakarta tak perlu bersusah payah. Tak perlu membuat peraturan baru yang butuh bertahun-tahun atau menghilangkan peraturan yang biasanya akan menimbulkan perdebatan.
Sebagai permulaan, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sebenarnya bisa dilaksanakan sesederhana menghargai yang mematuhi peraturan. Contohnya, dengan memudahkan jalan bagi mereka yang selalu ingin mematuhi peraturan.
Sebagai arsitek, saya kerap kali kesulitan dalam mengurus izin bangunan. Secara logika, seharusnya proses perizinan bisa lebih mudah ketika saya mengikuti aturan pemerintah.
Nyatanya, pemerintah tidak pernah membedakan sang pendukung kebijakan kota dengan si pelanggar. Dalam mengurus izin bangunan, keduanya sama-sama mengalami kesulitan melalui proses yang bertele-tele.
Lancarkan perizinan untuk mewujudkan kota kolaboratif
Saat ini, pengembang perlu melewati 17 tahap perizinan sebelum bisa membangun gedung. Dari banyaknya tahapan tersebut, banyak ketentuan-ketentuan repetitif yang membuat proses perizinan semakin panjang dan berbelit.
Misal, suatu gedung sudah mematuhi ketetapan yang tercantum pada Perda Rencana Detail Tata Ruang No 1/ 2014. Dengan dipatuhinya Perda tersebut, seharusnya hal-hal seperti verifikasi kegunaan, luasan, tinggi lantai, dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) sudah tidak diperlukan lagi pada tahap-tahap selanjutnya. Realitanya, hal-hal di atas tetap diminta dan bahkan disyaratkan berulang kali pada tahapan proses yang berbeda.
Dengan insentif percepatan pengurusan izin bangunan bagi yang mengikuti aturan pemerintah, saya yakin akan semakin banyak pengembang dan arsitek yang akan berperan serta dalam membangun kota sebagai pewujudan kota kolaboratif.
Contohnya, mereka dapat ikut serta menyukseskan program pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hunian di Jakarta yang masih defisit hingga 300,000 unit.
Dengan proses perizinan yang semakin mudah, manfaatnya:
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mempermudah proses perizinan sebagai insentif bagi yang taat hukum. Lagi pula, yang dibutuhkan untuk melakukan hal itu hanya keinginan menjadikan Jakarta lebih maju.Ditambah lagi, siklus sehat seperti ini juga akan membantu meningkatkan indeks kemudahan berbisnis di Indonesia, terutama bisnis properti yang bersumbangsih hampir 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) kota.
Steve J. Manahampi
Steve J. Manahampi adalah ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta periode 2009 - 2018. Selain sibuk menjabat sebagai ketua IAI Jakarta, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI) ini juga merupakan pemilik perusahaan konsultan arsitektur WAGA yang bergerak dalam bidang perencaan bangunan komersial high-rise dan mixed-use. Beberapa karyanya termasuk Blok M Office tower di Jakarta Selatan, Jogjakarta Cultural Center, serta Jimbaran Hotel dan Villa di Bali.