Dilansir dari berita The New York Times, Indonesia dinobatkan sebagai negara termalas dalam berjalan kaki berdasar hasil penelitian Stanford University. Menurut studi, alasan penduduk malas jalan kaki berkaitan erat dengan buruknya trotoar. Ini bisa dibuktikan di kota-kota lain dengan fasilitas trotoar lebih layak seperti New York dan San Fransisco, hasil penelitian menunjukkan warganya lebih rajin berjalan kaki ketimbang menggunakan kendaraan bermotor.
Penelitian tersebut sebenarnya sangat relevan jika melihat Jakarta saat ini. Trotoar di sepanjang Jalan Sudirman misalnya, masih tidak ramah dan perlu pelebaran. Belum lagi penyalahgunaan jalur pedestrian oleh pengendara bermotor atau penjaja kaki lima, dan tentunya soal konektivitas antar gedung yang terbatas.
Kondisi tersebut jelas berdampak dan memperparah tingkat kemacetan di kawasan niaga. Ratusan atau bahkan ribuan pekerja yang sebenarnya bisa lalu lalang dengan jalan kaki untuk tujuan dengan jarak tempuh dekat, akhirnya memilih menggunakan kendaraan bermotor. Ini bisa dilihat ketika jam-jam sibuk di Sudirman, Thamrin, dan lainnya.
Kehadiran MRT yang diharapkan menjadi solusi kemacetan, di sisi lain membawa dampak kepadatan arus penumpang yang harus diantisipasi. Dengan asumsi 60% penumpang bekerja di kawasan CBD, diperkirakan akan terdapat 900 orang hilir mudik stasiun tiap 5-10 menit. Stasiun MRT Lebak Bulus, Bundaran HI, serta 11 stasiun lainnya, diperkirakan akan mengangkut 160.000 hingga 190.000 penumpang setiap harinya. Tanpa jalur pedestrian yang mumpuni, banjirnya penumpang justru akan menjadi sumber kemacetan di masa datang.
Di saat pemerintah masih menyusun rencana untuk menjawab tantangan ini, para pengelola gedung di kawasan niaga Sudirman justru selangkah lebih maju pada kontribusinya terhadap Jakarta. Para pengembang berinisiatif untuk membangun akses pejalan kaki yang terkoneksi dengan beberapa gedung dengan menggagas proyek Segitiga Platinum, yang meliputi area Jl Sudirman, Jl KH Mas Mansyur, dan Jl Penjaringan 1 (lihat gambar).
Proyek yang merupakan kontribusi swasta ini rencananya juga akan terhubung dengan stasiun MRT Bendungan Hilir, Setiabudi, dan Dukuh Atas. Termasuk untuk halte TransJakarta Dukuh Atas 1 dan 2, Setiabudi, dan stasiun Kereta Bandara.
Sebagai bukti komitmen keseriusan kontribusi dari swasta, para pengembang tak hanya mengundang para pakar untuk mendesain tapi juga bersedia menyerahkan lahannya untuk jalur pejalan kaki di daerah tersebut.
Kontribusi ini diharapkan bisa membantu pemerintah menyediakan pedestrian dan konektivitas kawasan TOD (Transit Oriented Development) Dukuh Atas, yang termasuk dalam program Tata Ruang Jakarta. Saat ini, ada beberapa penyedia jasa transportasi yang masing-masing sudah memiliki rencana mengenai TOD, mulai dari LRT, MRT, TransJakarta, Rail Link, dan KAI. Namun, rencananya masih berdiri masing-masing dan belum terpadu satu sama lain.
Apalagi, proyek ini didesain oleh para profesional yang mengutamakan keharmonisan lingkungan. Sehingga, tidak akan menggusur lahan warga, malah berpotensi meningkatkan kesejahteraan dengan adanya lahan untuk berjualan dengan nyaman. Juga, akan terbuka akses interaksi bagi seluruh kalangan masyarakat. Sehingga, komunitas sekitar pun diuntungkan.
Desain kawasan ini sudah dipresentasikan di hadapan Gubernur Terpilih DKI Jakarta 2017, Anies Baswedan. Namun, sampai sekarang kami masih menungggu rencana pengembangan di area terkait dari Pemerintahan DKI Jakarta yang baru untuk bisa merealisasikan proyek ini.
Segitiga Platinum adalah pilot project pembangunan fasilitas publik dari para pengembang yang ingin berkontribusi membangun Jakarta yang lebih baik. Proyek ini pun menyatu dengan peremajaan Kampung Karet yang berada di sekitar area Segitiga Platinum. Jika proyek berhasil, bukan tidak mungkin kontribusi serupa akan bermunculan dan memudahkan pemerintah dalam membangun fasilitas publik lainnya.
Apabila pemerintah lamban dalam merespon gagasan ini, maka akan sulit bagi pihak swasta untuk memberikan kontribusinya pada Jakarta dan mengeksekusi proyek ini. Padahal, ada urgensi seiring dengan mega proyek MRT yang dijadwalkan beroperasi di awal tahun 2019. Diskusi dengan pikiran terbuka dan berlandaskan kepentingan bersama harus dilakukan agar jalur pedestrian bisa segera digunakan masyarakat.