Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik

November 3, 2021

Penyediaan hunian melibatkan rantai proses yang panjang. Hal yang selama ini menjadi sorotan adalah konstruksi fisik hunian dan skema finansial kerap luput dari perhatian. Padahal, mempersiapkan skema kebijakan finansial untuk berperan krusial untuk memastikan suplai huniannya bisa dijangkau dan terserap oleh masyarakat. 

Bila kepemilikan yang menjadi fokus program nasional penyediaan perumahan, maka penting untuk juga merumuskan kebijakan finansial yang membuat suplai hunian bisa diakses dan diserap masyarakat. Seperti halnya pada barang elektronik, cicilan dengan skema menarik bisa mendorong penjualan.

Berikut beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan terkait penyediaan hunian:

Jika angka backlog di Jakarta tinggi, bukankah solusinya adalah membangun lebih banyak hunian?

Tidak sepenuhnya benar. Membangun berarti menambah suplai. Namun, membangun konstruksi fisik hunian tidak cukup karena itu merupakan bagian termudah di rantai penyediaan hunian. Sedangkan proses mengurangi backlog hunian dimulai dari konstruksi sampai memastikan unit rumahnya terhuni. Artinya, penyerapan pasar sangat penting.

Konstruksi bukan satu-satunya solusi penyediaan hunian. Di rumah susun Pasar Rumput, Jakarta Selatan, misalnya, unitnya hingga kini (September 2021) belum dihuni sejak selesai dibangun pada September 2019.

Mengapa program DP nol tak otomatis menyelesaikan backlog?

Jika membangun hunian adalah satu-satunya solusi untuk mengurangi backlog, maka seharusnya unit apartemen di program DP nol milik Pemerintah DKI Jakarta sudah terisi semuanya. Pemerintah DKI Jakarta mengubah plafon gaji maksimal yang bisa berpartisipasi dalam program tersebut menjadi Rp 14,8 juta. Sebab, pada batas gaji maksimal Rp 7 juta yang diterapkan saat program itu diresmikan, banyak pemohon yang tidak lolos seleksi perbankan.

Program DP nol tak dilengkapi dengan skema pinjaman menarik yang bisa ditanggung masyarakat. Intervensi kebijakan finansial berupa suku bunga kredit yang rendah, nilai minimal uang muka yang diturunkan, dan tenor pinjaman yang memanjang diperlukan untuk membuat program itu bisa diakses oleh lebih banyak masyarakat.

Bank mitra dalam program penyediaan rumah tentu beroperasi layaknya bank konvensional. Itu sebabnya, pemerintah wajib berkomitmen sebagai penjamin dana dan tak bisa menyerahkan proses penghunian sepenuhnya ke lembaga keuangan. Komitmen tersebut bisa berupa pemberian subsidi uang muka, subsidi bunga, subsidi cicilan, atau seperti yang diterapkan pada program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Opsi lainnya adalah pemerintah mengutus sebuah instansi sebagai lembaga pemberi pinjaman. Dengan begitu, pemerintah bisa menyusun skema pinjaman yang atraktif untuk kepemilikan hunian.

Bagaimana kondisi harga apartemen komersial menurut harga pasar saat ini?

Sebagai gambaran, untuk apartemen dengan harga Rp 850 juta di Jakarta biasanya lokasinya berada di sekitar perbatasan kota. Dengan uang muka 15%, bunga 9%, dan tenor 20 tahun, maka cicilan yang harus dibayar per bulannya adalah sekitar Rp 6,5 juta per bulan. Nilai itu tak termasuk biaya administrasi dan provisi yang berkisar 1,5% dan dibayarkan di awal.

Nilai tersebut jauh dari kesanggupan milenial saat ini menurut survei JPI. Survei JPI pada Oktober-November 2019 mencatat kesanggupan mereka mencicil adalah sekitar Rp 1-3 juta per bulan.

Apa yang pemerintah bisa lakukan?

Membuat intervensi kebijakan finansial dengan memberikan subsidi bunga adalah salah satunya. Kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari pemerintah pusat patut diapresiasi sebagai awal proses penyediaan perumahan yang holistik. Namun, kebijakan untuk belum bisa menolong kaum urban.

Hunian di program FLPP juga sebaiknya bisa dimanfaatkan masyarakat yang tinggal di kota, salah satunya Jakarta. Pemerintah dan para pemangku kepentingan penyediaan hunian perlu mulai berpikir urban. Intervensi kebijakan finansial juga diperlukan di kota lantaran harga hunian yang sudah sangat mahal. Selanjutnya, berpikir urban dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang berupa pembangunan hunian vertikal. 

Selain itu, pemerintah juga perlu menjadi aktor utama penyediaan perumahan sebagai developer dan pemberi pinjaman. Singapura sudah lebih dulu menerapkan cara ini melalui Housing & Development Board (HDB).

Selain skema KPR yang menarik, intervensi ada apa lagi yang bisa dilakukan pemerintah?

Singapura dengan Central Provident Fund (CPF) mereka bisa menjadi inspirasi. Di Indonesia, CPF menyerupai iuran BPJS Ketenagakerjaan yang wajib dibayar oleh pekerja tiap bulannya. Bedanya, Pemerintah Singapura mengizinkan sebagian porsi CPF—dihitung berdasarkan kriteria yang ditetapkan—untuk digunakan untuk membeli hunian.

Iuran BPJS Ketenagakerjaan bisa diterapkan demikian dengan kriteria yang ditetapkan pemerintah. Cara ini bisa membantu meringankan uang muka yang harus ditanggung calon pembeli hunian.

Selain skema KPR yang menarik, masalah lain apa yang perlu diselesaikan oleh pemerintah?

Birokrasi dan tata guna lahan cukup bermasalah untuk konstruksi rumah susun. Sebagai informasi, pengembang memiliki kewajiban pembangunan rumah susun murah untuk tiap pengembangan di atas lahan lebih dari 5.000 meter persegi. Pelaksanaannya seringkali terhambat dua hal tersebut. Padahal, jika birokrasi lancar dan tata guna lahannya jelas, banyak kewajiban yang bisa terselesaikan.

Dalam hal konstruksi, pengembangan rusun yang masif bisa menurunkan biaya dan material. Ini tentu saja berpengaruh pada harga jual akhir yang akan dibayar masyarakat. Selain itu, penyediaan hunian yang beragam dan berbagai tipe memungkinkan masyarakat bisa menyesuaikan kebutuhan dan jenis hunian yang mereka sanggup beli.

Pada akhirnya, penyediaan hunian membutuhkan kebijakan yang holistik dan berkaitan satu sama lain. Hanya berfokus pada salah satu tahap tak akan menghasilkan dampak yang benar-benar bisa dirasakan masyarakat.

Dari sekian hal yang perlu dibenahi pada penyediaan hunian milik, apa artinya hunian sewa tidak bermasalah?

Banyak masyarakat terprogram yang tinggal di rusunawa akhirnya keluar dan kembali ke lokasi awal tinggal atau mencari tempat tinggal lain. Penyebabnya, lokasi rusunawa jauh dengan tempat kerja mereka yang membuat timbulnya ongkos ekstra.

Selain itu, kedua pihak—penghuni dan pengelola—tak memenuhi kewajiban dasar mereka di rusunawa. Penghuni menunggak pembayaran sewa karena satu dan lain hal. Sedangkan pengelola tak bisa merawat rusunawa secara profesional karena keterbatasan dana akibat tunggakan sewa.

Per awal Agustus 2021, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta menyatakan sekitar 26 ribu unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) milik Pemerintah DKI Jakarta kosong.  Untuk memastikan rusunawa terhuni, sosialisasi dari pemerintah tentang kewajiban dan hak penghuni serta pengelolaan yang profesional merupakan dua hal yang harus berjalan bersamaan.

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Interview with Noerzaman, Architect of JPO GBK (Video)
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
View More

News releases

Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
RPTRA Borobudur
DKI Jakarta Visited CLC in Singapore
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute