Penyediaan hunian melibatkan rantai proses yang panjang. Hal yang selama ini menjadi sorotan adalah konstruksi fisik hunian dan skema finansial kerap luput dari perhatian. Padahal, mempersiapkan skema kebijakan finansial untuk berperan krusial untuk memastikan suplai huniannya bisa dijangkau dan terserap oleh masyarakat.
Bila kepemilikan yang menjadi fokus program nasional penyediaan perumahan, maka penting untuk juga merumuskan kebijakan finansial yang membuat suplai hunian bisa diakses dan diserap masyarakat. Seperti halnya pada barang elektronik, cicilan dengan skema menarik bisa mendorong penjualan.
Berikut beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan terkait penyediaan hunian:
Jika angka backlog di Jakarta tinggi, bukankah solusinya adalah membangun lebih banyak hunian?
Tidak sepenuhnya benar. Membangun berarti menambah suplai. Namun, membangun konstruksi fisik hunian tidak cukup karena itu merupakan bagian termudah di rantai penyediaan hunian. Sedangkan proses mengurangi backlog hunian dimulai dari konstruksi sampai memastikan unit rumahnya terhuni. Artinya, penyerapan pasar sangat penting.
Konstruksi bukan satu-satunya solusi penyediaan hunian. Di rumah susun Pasar Rumput, Jakarta Selatan, misalnya, unitnya hingga kini (September 2021) belum dihuni sejak selesai dibangun pada September 2019.
Mengapa program DP nol tak otomatis menyelesaikan backlog?
Jika membangun hunian adalah satu-satunya solusi untuk mengurangi backlog, maka seharusnya unit apartemen di program DP nol milik Pemerintah DKI Jakarta sudah terisi semuanya. Pemerintah DKI Jakarta mengubah plafon gaji maksimal yang bisa berpartisipasi dalam program tersebut menjadi Rp 14,8 juta. Sebab, pada batas gaji maksimal Rp 7 juta yang diterapkan saat program itu diresmikan, banyak pemohon yang tidak lolos seleksi perbankan.
Program DP nol tak dilengkapi dengan skema pinjaman menarik yang bisa ditanggung masyarakat. Intervensi kebijakan finansial berupa suku bunga kredit yang rendah, nilai minimal uang muka yang diturunkan, dan tenor pinjaman yang memanjang diperlukan untuk membuat program itu bisa diakses oleh lebih banyak masyarakat.
Bank mitra dalam program penyediaan rumah tentu beroperasi layaknya bank konvensional. Itu sebabnya, pemerintah wajib berkomitmen sebagai penjamin dana dan tak bisa menyerahkan proses penghunian sepenuhnya ke lembaga keuangan. Komitmen tersebut bisa berupa pemberian subsidi uang muka, subsidi bunga, subsidi cicilan, atau seperti yang diterapkan pada program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Opsi lainnya adalah pemerintah mengutus sebuah instansi sebagai lembaga pemberi pinjaman. Dengan begitu, pemerintah bisa menyusun skema pinjaman yang atraktif untuk kepemilikan hunian.
Bagaimana kondisi harga apartemen komersial menurut harga pasar saat ini?
Sebagai gambaran, untuk apartemen dengan harga Rp 850 juta di Jakarta biasanya lokasinya berada di sekitar perbatasan kota. Dengan uang muka 15%, bunga 9%, dan tenor 20 tahun, maka cicilan yang harus dibayar per bulannya adalah sekitar Rp 6,5 juta per bulan. Nilai itu tak termasuk biaya administrasi dan provisi yang berkisar 1,5% dan dibayarkan di awal.
Nilai tersebut jauh dari kesanggupan milenial saat ini menurut survei JPI. Survei JPI pada Oktober-November 2019 mencatat kesanggupan mereka mencicil adalah sekitar Rp 1-3 juta per bulan.
Apa yang pemerintah bisa lakukan?
Membuat intervensi kebijakan finansial dengan memberikan subsidi bunga adalah salah satunya. Kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari pemerintah pusat patut diapresiasi sebagai awal proses penyediaan perumahan yang holistik. Namun, kebijakan untuk belum bisa menolong kaum urban.
Hunian di program FLPP juga sebaiknya bisa dimanfaatkan masyarakat yang tinggal di kota, salah satunya Jakarta. Pemerintah dan para pemangku kepentingan penyediaan hunian perlu mulai berpikir urban. Intervensi kebijakan finansial juga diperlukan di kota lantaran harga hunian yang sudah sangat mahal. Selanjutnya, berpikir urban dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang berupa pembangunan hunian vertikal.
Selain itu, pemerintah juga perlu menjadi aktor utama penyediaan perumahan sebagai developer dan pemberi pinjaman. Singapura sudah lebih dulu menerapkan cara ini melalui Housing & Development Board (HDB).
Selain skema KPR yang menarik, intervensi ada apa lagi yang bisa dilakukan pemerintah?
Singapura dengan Central Provident Fund (CPF) mereka bisa menjadi inspirasi. Di Indonesia, CPF menyerupai iuran BPJS Ketenagakerjaan yang wajib dibayar oleh pekerja tiap bulannya. Bedanya, Pemerintah Singapura mengizinkan sebagian porsi CPF—dihitung berdasarkan kriteria yang ditetapkan—untuk digunakan untuk membeli hunian.
Iuran BPJS Ketenagakerjaan bisa diterapkan demikian dengan kriteria yang ditetapkan pemerintah. Cara ini bisa membantu meringankan uang muka yang harus ditanggung calon pembeli hunian.
Selain skema KPR yang menarik, masalah lain apa yang perlu diselesaikan oleh pemerintah?
Birokrasi dan tata guna lahan cukup bermasalah untuk konstruksi rumah susun. Sebagai informasi, pengembang memiliki kewajiban pembangunan rumah susun murah untuk tiap pengembangan di atas lahan lebih dari 5.000 meter persegi. Pelaksanaannya seringkali terhambat dua hal tersebut. Padahal, jika birokrasi lancar dan tata guna lahannya jelas, banyak kewajiban yang bisa terselesaikan.
Dalam hal konstruksi, pengembangan rusun yang masif bisa menurunkan biaya dan material. Ini tentu saja berpengaruh pada harga jual akhir yang akan dibayar masyarakat. Selain itu, penyediaan hunian yang beragam dan berbagai tipe memungkinkan masyarakat bisa menyesuaikan kebutuhan dan jenis hunian yang mereka sanggup beli.
Pada akhirnya, penyediaan hunian membutuhkan kebijakan yang holistik dan berkaitan satu sama lain. Hanya berfokus pada salah satu tahap tak akan menghasilkan dampak yang benar-benar bisa dirasakan masyarakat.
Dari sekian hal yang perlu dibenahi pada penyediaan hunian milik, apa artinya hunian sewa tidak bermasalah?
Banyak masyarakat terprogram yang tinggal di rusunawa akhirnya keluar dan kembali ke lokasi awal tinggal atau mencari tempat tinggal lain. Penyebabnya, lokasi rusunawa jauh dengan tempat kerja mereka yang membuat timbulnya ongkos ekstra.
Selain itu, kedua pihak—penghuni dan pengelola—tak memenuhi kewajiban dasar mereka di rusunawa. Penghuni menunggak pembayaran sewa karena satu dan lain hal. Sedangkan pengelola tak bisa merawat rusunawa secara profesional karena keterbatasan dana akibat tunggakan sewa.
Per awal Agustus 2021, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta menyatakan sekitar 26 ribu unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) milik Pemerintah DKI Jakarta kosong. Untuk memastikan rusunawa terhuni, sosialisasi dari pemerintah tentang kewajiban dan hak penghuni serta pengelolaan yang profesional merupakan dua hal yang harus berjalan bersamaan.