Mensiasati MRT Minim Subsidi

Maret 25, 2019

Opini – published in Bisnis Inonesia on 23 March 2019

Di sela-sela warga Jakarta menyambut moda transportasi massal baru seperti Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rapid Transit (LRT), proyek-proyek kebanggaan ini menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Biaya operasional kedua moda itu mahal dan pemerintah belum memiliki skema finansial yang mandiri melainkan harus subsidi.

MRT, walau belum mengumumkan harga tiket, mencatat bahwa daya beli komuter rendah. Berdasarkan survei online yang dilakukan oleh PT MRT Jakarta pada Januari sampai Mei pada tahun 2018, 65,5 persen dari 10.073 responden memiliki keinginan untuk berpindah ke MRT. Namun, hanya 19,6 persen yang bersedia membayar lebih dari Rp 8.500 per perjalanan. Dengan tarif Rp 8.500, subsidi yang harus digelontorkan Pemerintah DKI Jakarta diperkirakan sebesar Rp 365 miliar per tahun.

Sementara itu di Palembang, Sumatera Selatan, LRT yang baru beroperasi beberapa bulan di dilaporkan merugi. Pemerintah pusat harus mensubsidi sebesar Rp 9 miliar per bulan lantaran moda ini tidak mengangkut cukup penumpang. Pembangunan LRT Palembang diduga tidak didukung studi finansial yang memadai, sehingga pemasukan otomatis hanya akan dihitung dari penghasilan tiket.

LRT Palembang sepanjang 14,5 kilometer itu menghabiskan dana pembangunan sekitar Rp 10,9 triliun. Dengan biaya sebesar itu, harga tiket yang masuk akal sebenarnya adalah Rp 30.000 per penumpang. Namun, untuk meningkatkan minat, pemerintah mensubsidi tiket LRT menjadi hanya Rp 5.000 ke semua stasiun, kecuali ke bandara, yakni menjadi Rp 10.000.

TOD sebagai skema bisnis transportasi massal

Sejauh ini tidak ada transportasi publik di Indonesia yang bisa hidup tanpa subsidi, terutama untuk biaya pembangunannya. Pemerintah pusat mengalokasikan dana subsidi Rp 1,3 triliun untuk kereta komuter yang melayani Jabodetabek. Sedangkan Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan Rp 3,2 triliun untuk subsidi transportasi pada tahun 2018.

Padahal, di negara-negara maju, operator-operator transportasi massal ini banyak yang bisa mandiri secara finansial atau paling tidak, berkelanjutan dengan subsidi minim. Solusinya sederhana, transportasi publik di banyak kota tidak berdiri sendiri, melainkan disandingkan dengan properti untuk membuatnya tepat sasaran dan juga berkelanjutan secara finansial. Penyatuan antara transportasi publik dan bisnis properti ini akan berhasil bila diintegrasikan dengan konsep transit oriented development (TOD) atau pembangunan yang berorientasi ke titik transit.

Kawasan TOD bisaanya dihitung dalam jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di Indonesia, jarak ini ditetapkan dengan radius antara 350 meter hingga 800 meter dari pusat titik transit. Kepadatan di dalam radius ini akan ditingkatkan dan konektivitas diperbaiki.

Konsep TOD tidak hanya berguna untuk pengembangan kota yang lebih efektif yang akan mengatasi urban sprawl, serta mengurangi jejak karbon dan kemacetan. TOD juga bisa menjadi skema finansial untuk transportasi publik di dekatnya.

Alat yang digunakan agar skema ini berjalan adalah memberikan hak membangun bagi para pemilik lahan yang berada di sekitar wilayah stasiun.

Hak membangun adalah hak pemilik lahan untuk bisa membangun di atas tanahnya. Hal ini meliputi luas lantai maksimum yang boleh dibangun di atasnya dan beberapa batasan lainnya. Salah satunya tercermin dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Hak ini diberikan dan dikendalikan oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Dengan konsep TOD, ada kebutuhan untuk meningkatkan kepadatan pada daerah sekitar wilayah stasiun atau pusat transit yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pemerintah perlu menganalisis kawasan yang dapat ditingkatkan kepadatannya. Peningkatan ini dapat dihitung untuk kepentingan bersama.

Namun, perlu ada sumbangsih yang diberikan, biasanya berupa sumbangan finansial, oleh pemilik lahan yang ingin menggunakan kenaikan KLB kepada pemerintah. Dana tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas, menambah fasilitas publik, atau mengembangkan transportasi publik di dekatnya. Jadi, pemilik lahan akan mendapatkan ruang lebih banyak untuk kegiatan ekonomi mereka. Sedangkan pemerintah DKI Jakarta bisa mengalokasikan sumbangan finansial dari kenaikan KLB untuk menutupi biaya pengembangan transportasi.

Kenaikan KLB pernah dilakukan, salah satunya sewaktu zaman kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Namun, kenaikan ini tidak berdasar karena hanya tergantung pada kesanggupan membayar dan penggunaannya juga tidak dipakai untuk mengurangi beban yang terdampak.

NJOP, Hak Membangun, dan PBB

Penerapan peningkatan KLB tentu tidak serta merta bisa diterapkan di Jakarta. Kebijakan itu memerlukan penyesuaian di sana-sini, terutama masalah penyesuaian peraturan tata ruang kita yang belum berorientasi pada konsep TOD. Terlebih lagi, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang merupakan dasar dari perhitungan hak membangun, belum terkorelasi dengan KLB.

Seharusnya, NJOP dan harga pajak bumi dan bangunan (PBB) ditentukan dari hak membangun atau KLB yang ditetapkan di lahan tersebut. Data Hak Membangun yang terdapat pada lembar-lembar Rencana Detail Tata Ruang KLB pun masih dikotak-kotakkan berdasarkan bangunan yang sudah ada, bukan untuk visi ke depan. Sedangkan nilai hak membangun tidak tergambar dalam skema pajak tanahnya.

Selain tataruang, pemerintah daerah juga perlu melakukan penyesuaian terhadap NJOP. Selama ini, NJOP ditentukan per wilayah atau per nama jalan. Ketentuan ini dibuat tanpa mempertimbangkan besar kecilnya Hak Membangun pada lahan tersebut.

Kesenjangan NJOP ini juga yang menyebabkan gentrifikasi. Fenomena itu muncul  karena masyarakat yang berada di wilayah premium harus membayar beban pajak yang sama mahalnya dengan gedung perkantoran biasa di sebelah lahan mereka yang jelas mendapat lebih banyak untung. Sebagai contoh, mereka akhirnya memilih untuk menjual asetnyadan pindah ke daerah pinggiran dengan tanggungan pajak yang jauh lebih rendah. Kepindahan penduduk dari wilayah-wilayah pusat ini akhirnya menciptakan urban sprawl

Pemerintah juga harus mulai menata konektivitas, khususnya bagi pejalan kaki di sekitaran wilayah TOD agar moda yang sudah dibangun mahal ini tidak sia-sia tanpa penumpang. TOD sebenarnya bisa dikembangkan tidak hanya di stasiun MRT, tapi juga di simpul transit transportasi publik lainnya. Namun, mumpung MRT sedang hangat-hangatnya dibicarakan, pembahasan TOD sebagai pendekatan finansial yang mandiri dan berkelanjutan bisa dimulai. Alasannya sederhana, yaitu tak ada kota yang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat lebih baik tanpa transportasi publik yang baik pula.

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Wawancara dengan Noerzaman, Arsitek JPO GBK (Video) - JPI
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Jakarta sebagai Kota Konser
Jakarta sebagai Kota Konser: Definisi dan Faktor Penghambat Jakarta Menjadi Concert City
View More

News releases

DKI Jakarta mengunjungi CLC di Singapura
RPTRA Borobudur
Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute