Jakarta tumbuh sangat menakjubkan selama beberapa dekade terakhir. Tumbuh begitu pesat, hingga melampaui daya pemerintahnya dalam menyesuaikan peraturan maupun melakukan pembaharuan di bidang tata bangunan. Proses perizinan pun jadi banyak tertunda, mengakibatkan kerugian di sisi investor dan menimbulkan potensi konflik akibat kesalahpahaman antara pemohon izin dan instansi pemerintah.
Untuk itu, Jakarta Property Institute (JPI) akan membahas permasalahan seputar peraturan dan proses perizinan terkait bangunan. Ini merupakan upaya JPI membantu para pemangku kepentingan mengidentifikasi masalah birokrasi maupun prosedur yang menghambat pembangunan.
Sebagai langkah awal, JPI menggelar tiga focus group discussions (FGD) pada bulan April, Juni, dan Agustus 2016. Peserta diskusi terdiri dari perwakilan beberapa instansi seperti Dinas Tata Kota, BPTSP DKI Jakarta (Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) , Kementerian Pekerjaan Umum, TABG (Tim Ahli Bangunan Gedung), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta , para praktisi dan ahli, serta perwakilan para pengembang.
Dari tiga diskusi tersebut, terdapat dua isu yang didapati menjadi masalah selama ini yakni kekurangan dalam proses perizinan dan peraturan yang tumpang tindih atau bertentangan.
Pertentangan Peraturan
Peraturan yang saling bertentangan kerap menjadi masalah bagi pengembang. Salah satu contohnya adalah terkait aturan Koefisien Dasar Hijau yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Koefisien Dasar Hijau ini mengatur persentase wilayah yang harus dialokasikan oleh pengembang untuk ruang hijau. Namun, terdapat pula aturan dari Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta yang mewajibkan gedung-gedung tinggi untuk menyediakan jalur perkerasan yang cukup luas untuk mengakomodasi mobil pemadam kebakarannya yang terbaru, Bronto Skylift. Kebijakan ini jelas membuat para pemilik gedung kesulitan menyediakan lahan hijau sesuai aturan, dan juga mengurangi kesempatan pemanfaatan lahan untuk bisnis secara efektif.
Puncaknya, seringkali terjadi perbedaan pada eksekusi desain. Pertentangan peraturan ini juga menjadi salah satu faktor menghambat penerbitan peraturan. Untuk membangun gedung baru, pengembang diwajibkan untuk menyerahkan permohonan perizinan ke BPTSP – yang dibentuk pada tahun 2015 untuk mengurus semua jenis perizinan, tidak hanya mengenai pergedungan.
Dalam hal pertentangan peraturan – pada umumnya selalu ada – BPTSP akan menimbang apakah desain yang diajukan para pengembang dapat diluluskan atau tidak. Pada umumnya, BPTSP akan mengkonsultasikan pada sidang TABG yang terdiri dari para pakar dan arsitek, dan setelah itu mereka akan mendiskusikan mengenai perubahan desain dengan para pengembang beserta tim teknis dari BPTSP.
Masalah selanjutnya adalah banyaknya proposal desain bangunan yang semakin menumpuk yang menunggu untuk ditinjau oleh BPTSP. Dalam hal ini tim teknis BPTSP masih kekurangan sumberdaya manusia. Perizinan terakhir yang paling penting adalah Sertifikat Layak Fungsi (SLF). Ada satu kasus sangat parah dimana kami menemukan untuk mendapatkan SLF bisa membutuhkan waktu selama 13 tahun. Proses persidangan dan antrian yang panjang membuat waktu yang dijadwalkan semakin mundur, yang akan menyebabkan pembangunan gedung terlantar dan pengembang menanggung resiko finansial.
Proses Penyusunan
Ketika pelaksanaan peraturan menjadi pusat perhatian, ada pendapat mengatakan bahwa masalah ini berakar pada kecacatan pada proses penyusunan peraturan. Ada perbedaan yang nyata antara apa yang tertulis dalam peraturan dan apa yang diimplementasikan. Seringkali aturan yang tertulis tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Departemen Tata Kota, misalnya, mengakui bahwa beberapa peraturan dibuat berdasarkan pada pengamatan dan penelitian mereka sendiri dan hanya dikonsultasikan pada TABG. Kurangnya respon dari dinas terkait sering terjadi, sementara pihak swasta tidak dilibatkan dalam diskusi mengenai peraturan sebelum peraturan itu berlaku.
Pada FGD juga menemukan bahwa seringkali hanya mengambil peraturan yang telah berhasil dari negara lain yang memiliki masalah yang sama tanpa menyesuaikan dengan kondisi di Jakarta. JPI menemukan ada 2 peraturan yang hanya menyalin dari negara lain: peraturan mengenai lantai bangunan (Kepala Bidang Tata Kota No.3/2014 artikel ke 117) yang diambil dari Singapura; dan syarat teknis pada akses pemadam kebakaran (Pergub DKI Jakarta No 200/2015) yang diambil dari beberapa negara. Karena tidak ada prosedur standar peraturan mengenai pembuatan peraturan, sering kali terjadi kesalahan yang tidak dapat dihindari.
Partisipasi dari berbagai pihak
Sistem ini membutuhkan perbaikan secara menyeluruh. Adanya sistem dan proses yang efisien akan memberikan manfaat kepada semua pihak. Sebagai mediator antara pihak swasta dan pemerintah, JPI percaya mampu memfasilitasi diskusi antar setiap pemangku kepentingan dan partisipasi dari semua pihak untuk memperbaiki sistem yang ada.
Keberhasilan dari pelaksanaan FGD ini diyakinin mampu membawa perubahan di tingkat pemerintahan. Saat ini ada penyusunan regulasi mengenai perizinan bangunan pergedungan (Pergub 129 Tahun 2012), BPTSP secara proaktif mengajak para pengembang untuk dapat memberikan masukan mengenai peraturan tersebut. Atas permintaan dari pemerintah DKI Jakarta, JPI saat ini bekerjasama dengan Centre of Liveable City (CLC) Singapura untuk menyediakan pelatihan untuk tim teknis terbaik dari BPTSP, untuk melakukan pemindahan sistem, dari sistem manual ke sistem online.