Hingga hari ini, Jakarta dengan segala tantangannya masih menjadi tujuan nomor satu bagi para pekerja di Indonesia. Meski harus hidup berjibaku melawan macet dan polusi, Jakarta tetap menawan bagi angkatan kerja. Perputaran ekonomi dan penyebaran informasi yang serba pesat memang membuat kehidupan di Jakarta terlihat amat menggiurkan.
Salah satu tantangan terbesar bagi angkatan kerja baru bila ingin berkarir dan menetap di Jakarta adalah tempat tinggal. Idealnya, semua pekerja mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dan terjangkau, sebagai modal utama untuk berkembang. Namun, mahalnya biaya hidup di Jakarta membuat pilihan hunian semakin terbatas. Padahal, tempat tinggal adalah kebutuhan dasar yang sangat menentukan kualitas hidup seseorang. Mencari tempat yang ideal dalam segala sisi, seperti jarak dekat, lokasi baik dan biaya murah seperti mencari jarum dalam tumpukkan jerami.
Akhirnya, mau tidak mau, para pekerja biasanya berkompromi dengan hunian seperti apa yang bisa mereka dapatkan.
Murah dan Dekat, tapi Tidak Nyaman
“Kebetulan gue bukan orang asli Jakarta alias anak rantau. Gue kerja di daerah Sudirman dan memilih untuk ngekos di belakang kantor. Untungnya, selain di kantor, kerjaan gue lebih banyak menuntut gue untuk beraktivitas di luar, seperti photoshoot dari satu lokasi ke lokasi lain. Jadi, biarpun kecil, kosan gue sekarang cukup untuk sekadar nampung barang dan istirahat.” - Furqon, 27 tahun, fotografer.
Apa yang dipilih oleh Furqon banyak dialami oleh kalangan pekerja baru. Dengan keterbatasan pendapatan dan kebutuhan ruang yang belum mendesak, pilihan yang bisa diambil adalah menyewa kamar kos atau mengontrak di daerah perkampungan kota. Harganya bervariasi namun biasanya masih terjangkau. Di Jakarta, kita masih bisa menemukan kamar dengan harga Rp 400.000 per bulan, biasanya ruang sempit minim pencahyaan dan fasilitas lain yang terletak di gang sempit atau dengan harga Rp 1-2 juta per bulan untuk kamar standar satu orang dengan kamar mandi dalam di lingkungan yang lumayan bagus. Harga ini tergantung dari daerah yang dipilih dan fasilitas yang disediakan. Nominalnya jelas signifikan jika dibandingkan dengan gaji angkatan kerja baru usia 20-24 tahun yang rata-ratanya setara atau malah di bawah upah minimum regional, yang saat ini Rp 3.9 juta.
Kelebihan dari pilihan ini adalah dekat dengan tempat kerja jadi bisa menghemat ongkos transportasi dan waktu. Kekurangannya tempat seperti ini sempit dan terbatas, bukan pilihan yang baik ketika sudah berumah tangga.
Dekat dan Nyaman, tapi Tidak Murah
“Gue tinggal di daerah Tebet dan setiap hari naik motor ke kantor di daerah Blok M. Karena pengeluaran bulanan udah mahal, selain berhemat gue mencoba untuk memaksimalkan segala fasilitas yang ada di apartemen, kayak gym dan kolam renang. Pokoknya, uang yang gue keluarkan untuk tempat tinggal harus sepadan dengan yang didapat.” - Cikal, 27 tahun, karyawan swasta.
Ini adalah prinsip yang lazim dipegang oleh penghuni apartemen seperti Cikal. Terang saja, biaya sewa untuk apartemen kelas menengah dan menengah ke atas tipe studio bisa berkisar antara Rp 4 juta sampai dengan 10 juta per bulan. Belum lagi ada biaya iuran pengelolaan lingkungan (IPL), listrik, dan air yang harus ditambah. Cikal sendiri harus menguras Rp 500.000 untuk IPL dan sekitar Rp 400.000 untuk listrik dan air tiap bulannya. Ini belum termasuk ongkos sewa parkir bulanan.
Cikal adalah satu dari sebagian kecil masyarakat yang punya keleluasaan untuk merogoh kocek lebih dalam untuk memilih hunian di tengah kota dan dekat dengan tempat kerjanya. Hunian semacam ini sebenarnya ideal untuk para pekerja baru karena kebutuhan ruang yang belum luas. Sayangnya, kisaran harganya jelas lebih mahal dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Selain ongkos sewa yang sudah mahal, gaya hidup lingkungan di sekitarnya juga mahal. Tempat seperti ini biasanya jauh dari pasar tradisional dan transportasi publik.
Nyaman dan Murah, tapi Tidak Dekat
Lain cerita dengan mereka yang rela tinggal jauh dari pusat kota asalkan tetap bisa bekerja di Jakarta. Dengan biaya yang lebih murah, hunian yang nyaman sudah bisa didapat. Bisa dikatakan, pilihan ini adalah yang paling populer saat ini, terutama di kalangan keluarga baru.
“Dalam sehari, aku bisa menghabiskan 2,5 jam di jalan untuk pulang-pergi dari rumahku di Cilebut, Bogor, ke tempat kerja di Mangga Besar, Jakarta Barat. Capek sih, apalagi mode transportasinya terbatas. Tapi menurutku pilihan ini masih lebih baik karena aku jadi bisa nabung untuk kebutuhan yang lain.” - Alfi, 22 tahun, karyawan swasta.
Pekerja Jakarta yang tinggal di daerah suburban seperti Alfi ini jumlahnya makin bertambah. Tak heran bila daerah Bodetabek semakin hari semakin dipadati penduduk. Transportasi yang terbatas juga menambah sulit akses dari daerah-daerah ini ke tengah kota Jakarta. Pilihan ini sebenarnya punya banyak resiko, terutama kesehatan. Lamanya perjalanan dan macetnya jalanan berakibat buruk bagi yang menjalankan dan bagi lingkungan. Namun, tentu saja, bagi beberapa orang, itu harga yang pantas dibayar untuk sepetak rumah tapak dengan kebun kecil di depannya.
Tenang, Selalu Ada Pilihan!
Jika boleh berangan-angan, tentu kita ingin keresahan ini hilang. Kalau memang rumah tapak sudah tidak lagi bisa terwujud, alangkah indahnya bila hunian vertikal seperti apartemen atau rusun tersedia lebih banyak dengan harga terjangkau. Tak hanya itu, fasilitas serta mode transportasi yang ada juga harus mendukung konektivitas antar wilayah. Harapannya, jarak dan perjalanan yang mesti ditempuh setiap harinya tidaklah terlalu membebani. Malah, membantu meningkatkan produktivitas dan kreativitas kita.
Trilema dalam memilih kriteria lokasi hunian di Jakarta mungkin tidak akan pernah usai. Namun, kita harus percaya kebijakan yang sesuai akan mampu mengurangi resiko dari masing-masing pilihan. Solusi dari setiap masalah di kota ini adalah tanggung jawab kita bersama; seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pengembang, hingga warganya. Meski jalan untuk menuju kota yang ideal masih jauh dan panjang, dengan turut berperan aktif memberi masukan kepada pemerintah kita akan membantu mewujudkan Jakarta yang lebih ramah dan nyaman, bukan hanya untuk bekerja.
Silakan kunjungi akun Instagram kami @jakartapropertyinstitute untuk informasi lebih lanjut seputar perkembangan Jakarta yang layak huni dan kirim surel ke info@jpi.or.id untuk ide dan gagasan.