Penetapan kebijakan finansial yang berpihak pada masyarakat kelas menengah dalam penyediaan perumahan kerap luput dari perhatian. Kelas menengah dalam konteks tulisan ini adalah mereka yang tak lagi tergolong masyarakat berpenghasilan rendah, tapi juga tak mampu berpartisipasi di pasar properti. Secara umum, kelas menengah terdampak masalah hunian dan memerlukan intervensi pemerintah.
Suplai hunian bakal berakhir tak terserap jika tak ada intervensi kebijakan finansial dari pemerintah yang bisa menjamin mereka mendapat akses untuk memiliki hunian. Kebijakan finansial inilah yang dapat mengatasi masalah hunian pada kelas menengah.
Perlunya intervensi kebijakan finansial yang berpihak pada kelas menengah juga bukan tanpa alasan. Di Jakarta, misalnya. Masalah hunian yang tidak kunjung diatasi dengan intervensi kebijakan finansial membuat masyarakat meninggalkan Jakarta dan membeli rumah di luar Ibu Kota. Pilihan itu terpaksa diambil karena mahalnya harga hunian.
Kondisi yang dipicu oleh masalah hunian tersebut tentu merugikan Jakarta lantaran hilangnya potensi pajak dan pendapatan daerah dari aktivitas belanja kelas menengah.
Mereka bekerja di Jakarta tapi menghabiskan gajinya di luar Ibu Kota. Situasi pasar properti akibat masalah hunian di Jakarta saat ini hanya bisa diintervensi oleh pemerintah. Tak adanya intervensi menyebabkan harga hunian makin tak terjangkau dan masalah hunian makin memburuk.
Selain itu, kelas menengah Indonesia yang lebar masih rentan kembali menjadi masyarakat berpenghasilan rendah. Bank Dunia menyatakan, sejak 2000, 10% kelas menengah kembali menjadi miskin atau masyarakat rentan; 40% turun ke kelas calon menengah; dan hanya 50% yang bertahan di kelas menengah.
Data tersebut semakin menegaskan pentingnya intervensi kebijakan finansial pada penyediaan perumahan untuk mengatasi masalah hunian, terutama bagi masyarakat kelas menengah bawah. Intervensi tersebut bisa membantu masyarakat di kelas tersebut, yang mencapai 45 persen dari populasi atau 115 juta orang, mendapat akses hunian yang layak, dan mengatasi masalah hunian menahun ini.
Mereka yang berada di kelas ini terbebas dari kemiskinan, tapi belum mencapai keamanan ekonomi penuh, terlebih dengan masalah penyediaan hunian. Bagi kelompok ini, bergerak menjadi kelompok menengah sama potensinya dengan tergelincir kembali ke kelompok miskin.
Setidaknya ada tiga solusi kebijakan finansial yang bisa diterapkan untuk membantu kelas menengah berpartisipasi di pasar properti sehingga nantinya terbebas dari masalah hunian.
Pertama, kebijakan finansial yang dapat mengatasi masalah hunian pada kelas menengah adalah menurunkan suku bunga kredit kepemilikan rumah. Data tahun 2020 menunjukkan suku bunga KPR Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara yakni 9,98%[1]. Angka tersebut masih di atas Thailand 5,34%, tetap lebih tinggi dari Malaysia 4,24%, dan jauh di atas Singapura 2,17%.
Bantuan keringanan suku bunga KPR di Indonesia sebenarnya sudah berlaku bagi rumah pada program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Hanya saja, lokasi rumah program FLPP biasanya jauh dari pusat kota dan belum ditujukan untuk hunian vertikal di tengah kota. Akibatnya, program tersebut belum efektif membantu meringankan masalah hunian pada masyarakat kelas menengah.
Pemerintah perlu mulai berpikir dengan wawasan urban dan memperbanyak hunian vertikal yang dibutuhkan untuk mengatasi mahalnya harga lahan di kota. Sebab, 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada 2020. Mencontoh kesuksesan compact city di negara lain, vertical development dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi masalah hunian di Jakarta.
Membuat masyarakat bisa tinggal di kota tempat mereka bekerja—tanpa perlu menempuh perjalanan selama dua jam pula