Salah satu isu heboh di internet mengenai hunian vertikal adalah masalah Akta Jual Beli (AJB) yang tak juga diserahkan pengembang terhadap penghuni, padahal penghuni-penghuni tersebut sudah mendapatkan dan melunasi huniannya.
Sampai sekarang, masih banyak penghuni hunian vertikal yang belum mendapatkan AJB. Ini salah satunya terjadi karena pengembang belum mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta.
Tiga hal yang menghambat perolehan SLF adalah: 1. Adanya perbedaan pengukuran antara DPMPTSP dan sertifikat BPN, 2. Adanya hambatan pemenuhan kewajiban, dan 3. Adanya peraturan yang masih berbenturan.
1.Perbedaan pengukuran
Pengembang harus terlebih dahulu melewati 17 tahap perizinan sebelum mendapatkan SLF. Satu tahapan yang sering menjadi hambatan adalah pemenuhan kewajiban Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR).
Pertama, dalam memenuhi IPPR butuh dilakukan pengukuran. Selanjutnya, proses pengukuran tanah akan menghasilkan Keterangan Rencana Kota (KRK). Apabila tidak ada perbedaan pengukuran dan DPMPTSP memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk melakukan pengukuran, KRK sebagai acuan penerbitan IPPR membutuhkan waktu 2 bulan.
Namun, nyatanya sering terjadi beda pengukuran antara pejabat DPMPTSP dan luas yang tercantum pada sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selain itu, terjadi pula antrean panjang pengukuran akibat kurangnya sumber daya manusia dari DPMPTSP. Hingga saat ini, beda hasil pengukuran diselesaikan secara kasus per kasus.
Ini semua membuat penerbitan KRK menjadi lebih lama. Padahal, IPPR hanya berlaku tiga tahun, sehingga bila kedaluwarsa, pengembang harus mengulang prosesnya dari awal. Bila sudah begini, penerbitan SLF akan semakin jauh dari realisasi.
2.Susahnya memenuhi kewajiban Pengembang
Sebelum memperoleh SLF, pengembang juga berkewajiban untuk menyerahkan prasarana lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti sekolah, ruang terbuka hijau, perbaikan jalan, dan lain-lain sesuai yang ditetapkan di dalam SIPPR dan/atau dokumen lainnya.
Lagi-lagi, keinginan pengembang untuk menyerahkan kewajiban ke Pemerintah Daerah pun terhambat dan dapat memakan waktu lama hingga bertahun-tahun.
3.Peraturan masih berbenturan
Peraturan sistem proteksi kebakaran di DKI Jakarta saat ini masih belum satu suara dalam menentukan pembangunan pencegahan kebakaran di sebuah gedung. Masalah ini menimbulkan kebingungan bagi para praktisi dalam merancang gedung, dan pada akhirnya membuat perolehan rekomendasi dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan untuk mendapatkan SLF menjadi terhambat.
Hambatan-hambatan di atas menyebabkan perolehan SLF menjadi jauh lebih lama dari yang dijanjikan DPMPTSP, yakni 42 hari.
Banyaknya kendala yang ditemui dalam mendapatkan SLF tak hanya merugikan pengembang, namun juga konsumen. Tanpa SLF, penghuni tidak bisa membentuk Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Padahal, PPRS salah satunya berfungsi untuk mengumpulkan biaya pemeliharaan gedung. Apabila sudah begini, pengembanglah yang harus rela menanggung biaya tersebut untuk sementara.
Sedangkan, penghuni ikut merugi akibat tidak mendapatkan kepastian dari aset yang seharusnya sudah mereka miliki. Pada akhirnya, industri properti pun akan terganggu karena biaya besar yang diderita pengembang akan mempengaruhi harga dan kualitas bangunan. Tingkat kepercayaan konsumen terhadap pengembang juga menjadi rendah akibat ketidakpastian kepemilikan.