Selama ini semua orang berpikir bahwa parkir di Jakarta adalah suatu kebutuhan. Tapi benarkah? Parkir atau ketersediaan ruangnya malah mendorong orang untuk membawa kendaraan pribadi yang akan bersumbangsih pada kemacetan. Parkir sebenarnya adalah faktor yang sering diabaikan padahal berkontribusi terhadap krisis perumahan kota dan kurangnya ruang terbukan hijau. Terlebih lagi, tanpa disadari, semua orang termasuk yang tidak memiliki kendaraan ikut mensubsidi parkir lewat peraturan pemerintah. Bukannya meringankan beban kota, parkir justru memperberat perkembangan kota bagi penduduknya
Bagaimana sebenarnya masalah parkir? Bukankah lebih banyak lahan parkir lebih baik?
Pemilik gedung terikat oleh peraturan parkir ketika mengembangkan mal, gedung perkantoran atau apartemen. Peraturan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir ini sebenarnya sudah sangat ketinggalan zaman, yaitu dibuat tahun 1996. Peraturan ini mensyaratkan kuota minimum parkir di setiap bangunan. Persyaratan ditentukan oleh rasio satu satuan ruang parkir dan luasan meter persegi tertentu tergantung pada jenis pengembangan. Peraturan lainnya (Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012) membatasi tarif yang dibayarkan pelanggan sebesar Rp 5.000 per jam. Ini membuat tarif parkir luar biasa rendah.
Rendahnya pendapatan parkir tidak sebanding dengan biaya konstruksi dan ruang yang dipakai, terutama parkir di bawah tanah. Sebuah mobil membutuhkan rata-rata 22 hingga 27 meter persegi untuk memperhitungkan jalan masuk, jalan landai, ventilasi, dan lainnya. Sedangkan parkir yang di luar gedung, meski ongkos pembangunannya lebih murah, luasannya menghabiskan area pengembangan utama. Padahal area ini bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna. Belum lagi biaya pemeliharaannya. Jelas bahwa penyediaan parkir membuat pemilik atau gedung merugi.
Padahal, lebih banyak lahan parkir malah jadi bumerang bagi upaya mengatasi kemacetan di Jakarta. Hal ini karena parkir adalah salah satu perwujudan kebijakan kota yang dirancang untuk kendaraan bermotor, bukan untuk masyarakatnya atau angkutan umum. Sehingga, bukannya mengalokasikan dana untuk menyediakan transportasi publik yang nyaman, pemerintah lebih memilih membebani para pemilik gedung agar orang-orang bisa membawa kendaraan pribadi dan mensubsidi para pengguna parkir dengan tarif murah.
Siapa yang mensubsidi kerugian finansial dari penyediaan parkir?
Biaya konstruksi dan pemeliharaan lahan parkir, yang dipikul pertama kali oleh pemilik gedung, diteruskan ke penyewa mereka. Biaya-biaya ini kemudian disalurkan ke pelanggan akhir si penyewa.
Dalam industri ritel, skema penggantian kerugian ini dimasukkan dalam harga barang, makanan, dan minuman. Itu artinya, bahkan mereka yang tidak mengemudi mensubsidi biaya parkir. Jadi, semua masyarakat tidak terkecuali menanggung beban parkir.
Bukankah area parkir kosong di malam hari?
Parkir sendiri sudah problematik di era transportasi publik ini. Di Jakarta, hal ini lebih parah karena sistem parkir yang boros. Parkir di gedung-gedung perkantoran dan mal-mal akan kosong dari malam hari hingga pagi hari. Pada akhir pekan, parkir di gedung perkantoran sudah pasti kosong. Di sepanjang Sudirman-Thamrin saja, ada 38.000 satuan ruang parkir (ITDP). Sementara itu, garasi rumah kosong pada siang hari.
Ini jelas pemborosan ruang padahal penduduk Jakarta sulit mendapatkan hunian yang lega dan layak. Kapasitas parkir yang berlebihan ini bisa dimanfaatkan untuk hunian terjangkau dan ruang terbuka hijau. Sedangkan di rumah, garasi bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain bagi keluarga
Banyaknya lahan yang digunakan untuk mobil ini sedikit banyak bersumbangsi pada kelangkaan tanah dan ruang di Jakarta sehingga harganya sangat mahal.
Bagaimana parkir mempengaruhi kehidupan sosial kita?
Terlepas dari aktivitas pencarian parkir dan antrean ke luar gedung yang membuang waktu, parkir membuat kota kehilangan area berkumpul. Bangunan parkir sama sekali bukan ditujukan untuk aktivitas manusia, terutama di malam hari. Parkir di luar gedung (di depan ruko atau di badan jalan) bukan hanya merusak keindahan kota, tapi juga mengorbankan ruang dan kenyamanan pejalan kaki. Trotoar yang sering kali berhadapan dengan parkiran, daripada gedung dan etalase yang menarik, membuat pengalaman berjalan kaki di Jakarta jadi tidak menarik. Penggunaan kendaraan pribadi juga menututup kemungkinan interaksi antar penduduk. Beda ceritanya bila Jakarta lebih banyak ruang terbuka hijau, ruang publik dan trotoar yang nyaman dan menarik.
Solusi apa yang baik untuk jangka pendek dan panjang?
Dalam jangka pendek, kita harus fokus pada area yang sudah dilayani oleh transportasi massal yang andal seperti MRT dan LRT.
Dalam jangka panjang, kita harus meningkatkan kepadatan ruang. Caranya, kita harus mengadopsi serangkaian kebijakan baru yang berfokus pada pejalan kaki. Dengan demikian memiliki kendaraan pribadi bukan lagi keharusan dan kebutuhan parkir akan berkurang. Pemerintah juga harus mendorong pengembangan multiguna sehingga kalaupun diperlukan lahan parkir, lahan ini bisa dimanfaatkan secara efektif. Ketika suatu daerah menjadi tempat aneka kegiatan, maka penyediaan parkir bersama jadi memungkinkan dan masuk akal. Sebab, tempat-tempat itu akan diisi oleh pengguna yang berbeda pada waktu yang berbeda pada hari kerja dan akhir pekan. Dengan begitu, pemilik gedung dapat berbagi biaya pembangunan dan pemeliharaannya serta menggabungkan kuota parkir mereka ke dalam satu gedung. Dengan demikian, parkir sudah kembali ke fungsi awalnya, yaitu melayani Jakarta