Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions

Juni 29, 2020

Selama ini semua orang berpikir bahwa parkir di Jakarta adalah suatu kebutuhan. Tapi benarkah? Parkir atau ketersediaan ruangnya malah mendorong orang untuk membawa kendaraan pribadi yang akan bersumbangsih pada kemacetan. Parkir sebenarnya adalah faktor yang sering diabaikan padahal berkontribusi terhadap krisis perumahan kota dan kurangnya ruang terbukan hijau. Terlebih lagi, tanpa disadari, semua orang termasuk yang tidak memiliki kendaraan ikut mensubsidi parkir lewat peraturan pemerintah. Bukannya meringankan beban kota, parkir justru memperberat perkembangan kota bagi penduduknya                                                                              

Bagaimana sebenarnya masalah parkir? Bukankah lebih banyak lahan parkir lebih baik?

Pemilik gedung terikat oleh peraturan parkir ketika mengembangkan mal, gedung perkantoran atau apartemen. Peraturan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir ini sebenarnya sudah sangat ketinggalan zaman, yaitu dibuat tahun 1996. Peraturan ini mensyaratkan kuota minimum parkir di setiap bangunan. Persyaratan ditentukan oleh rasio satu satuan ruang parkir dan luasan meter persegi tertentu tergantung pada jenis pengembangan. Peraturan lainnya (Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012) membatasi tarif yang dibayarkan pelanggan sebesar Rp 5.000 per jam. Ini membuat tarif parkir luar biasa rendah.

Rendahnya pendapatan parkir tidak sebanding dengan biaya konstruksi dan ruang yang dipakai, terutama parkir di bawah tanah. Sebuah mobil membutuhkan rata-rata 22 hingga 27 meter persegi untuk memperhitungkan jalan masuk, jalan landai, ventilasi, dan lainnya. Sedangkan parkir yang di luar gedung, meski ongkos pembangunannya lebih murah, luasannya menghabiskan area pengembangan utama. Padahal area ini bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna. Belum lagi biaya pemeliharaannya. Jelas bahwa penyediaan parkir membuat pemilik atau gedung merugi.

Padahal, lebih banyak lahan parkir malah jadi bumerang bagi upaya mengatasi kemacetan di Jakarta. Hal ini karena parkir adalah salah satu perwujudan kebijakan kota yang dirancang untuk kendaraan bermotor, bukan untuk masyarakatnya atau angkutan umum. Sehingga, bukannya mengalokasikan dana untuk menyediakan transportasi publik yang nyaman, pemerintah lebih memilih membebani para pemilik gedung agar orang-orang bisa membawa kendaraan pribadi dan mensubsidi para pengguna parkir dengan tarif murah.

Siapa yang mensubsidi kerugian finansial dari penyediaan parkir?

Biaya konstruksi dan pemeliharaan lahan parkir, yang dipikul pertama kali oleh pemilik gedung, diteruskan ke penyewa mereka.  Biaya-biaya ini kemudian disalurkan ke pelanggan akhir si penyewa.  

Dalam industri ritel, skema penggantian kerugian ini dimasukkan dalam harga barang, makanan, dan minuman. Itu artinya, bahkan mereka yang tidak mengemudi mensubsidi biaya parkir. Jadi, semua masyarakat tidak terkecuali menanggung beban parkir.

Bukankah area parkir kosong di malam hari?

Parkir sendiri sudah problematik di era transportasi publik ini. Di Jakarta, hal ini lebih parah karena sistem parkir yang boros. Parkir di gedung-gedung perkantoran dan mal-mal akan kosong dari malam hari hingga pagi hari. Pada akhir pekan, parkir di gedung perkantoran sudah pasti kosong. Di sepanjang Sudirman-Thamrin saja, ada 38.000 satuan ruang parkir (ITDP). Sementara itu, garasi rumah kosong pada siang hari.

Ini jelas pemborosan ruang padahal penduduk Jakarta sulit mendapatkan hunian yang lega dan layak. Kapasitas parkir yang berlebihan ini bisa dimanfaatkan untuk hunian terjangkau dan ruang terbuka hijau. Sedangkan di rumah, garasi bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain bagi keluarga

Banyaknya lahan yang digunakan untuk mobil ini sedikit banyak bersumbangsi pada kelangkaan tanah dan ruang di Jakarta sehingga harganya sangat mahal.

Bagaimana parkir mempengaruhi kehidupan sosial kita?

Terlepas dari aktivitas pencarian parkir dan antrean ke luar gedung yang membuang waktu, parkir membuat kota kehilangan area berkumpul. Bangunan parkir sama sekali bukan ditujukan untuk aktivitas manusia, terutama di malam hari. Parkir di luar gedung (di depan ruko atau di badan jalan) bukan hanya merusak keindahan kota, tapi juga mengorbankan ruang dan kenyamanan pejalan kaki. Trotoar yang sering kali berhadapan dengan parkiran, daripada gedung dan etalase yang menarik, membuat pengalaman berjalan kaki di Jakarta jadi tidak menarik. Penggunaan kendaraan pribadi juga menututup kemungkinan interaksi antar penduduk. Beda ceritanya bila Jakarta lebih banyak ruang terbuka hijau, ruang publik dan trotoar yang nyaman dan menarik.

Solusi apa yang baik untuk jangka pendek dan panjang?

Dalam jangka pendek, kita harus fokus pada area yang sudah dilayani oleh transportasi massal yang andal seperti MRT dan LRT.  

  1. Batasi persediaan ruang parkir. Ketimbang harus mensyaratkan kuota parkir minimum, pemerintah daerah sebaiknya memperbarui peraturan dan mengubahnya menjadi kuota maksimum penyediaan parkir.
  2. Hapus batas tarif parkir Rp 5.000 dan biarkan harga pasar bekerja. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk naik angkutan umum.
  3. Beri insentif konversi ruang parkir yang ditujukan untuk aktivitas masyarakat.
  4. Ciptakan kawasan-kawasan ramah pejalan kaki dengan area-area tanpa tempat parkir.
  5. Perkenalkan konsep park-and-ride di kantong-kantong transit di pinggiran kota sehingga masyarakat tidak perlu membawa kendaraan pribadi ketika ke pusat kota.

Dalam jangka panjang, kita harus meningkatkan kepadatan ruang. Caranya, kita harus mengadopsi serangkaian kebijakan baru yang berfokus pada pejalan kaki. Dengan demikian memiliki kendaraan pribadi bukan lagi keharusan dan kebutuhan parkir akan berkurang. Pemerintah juga harus mendorong pengembangan multiguna sehingga kalaupun diperlukan lahan parkir, lahan ini bisa dimanfaatkan secara efektif. Ketika suatu daerah menjadi tempat aneka kegiatan, maka penyediaan parkir bersama jadi memungkinkan dan masuk akal. Sebab, tempat-tempat itu akan diisi oleh pengguna yang berbeda pada waktu yang berbeda pada hari kerja dan akhir pekan. Dengan begitu, pemilik gedung dapat berbagi biaya pembangunan dan pemeliharaannya serta menggabungkan kuota parkir mereka ke dalam satu gedung. Dengan demikian, parkir sudah kembali ke fungsi awalnya, yaitu melayani Jakarta

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Interview with Noerzaman, Architect of JPO GBK (Video)
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
View More

News releases

Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
RPTRA Borobudur
DKI Jakarta Visited CLC in Singapore
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute