Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!

Juni 17, 2019

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyinggung soal hunian yang makin tak terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Tingginya harga properti membuat hanya 20% dari kalangan berada yang mampu membeli rumah di pasar formal.

Sebanyak 40% kelompok menengah hanya bisa memiliki rumah dengan bantuan subsidi pemerintah. Sisanya, bahkan tidak mampu membeli rumah sama sekali. Padahal, melalui pembangunan secara vertikal, Jakarta bisa menyediakan hunian terjangkau dan mendapat tambahan ruang hijau.

Mahalnya harga hunian di Jakarta salah satunya karena lahan yang semakin terbatas. Jakarta tergolong kota terpadat di dunia, setara dengan Tokyo yang memiliki rasio 14.000 penduduk per kilometer persegi. Bedanya, kedua kota dibangun dengan cara yang bertolak belakang.

Tokyo terus membangun ke atas, menerapkan vertical development sesuai dengan konsep compact city. Pemerintah kota itu mengoptimalkan potensi peningkatan kepadatan ruang dengan membangun gedung-gedung tinggi. Sedangkan Jakarta, kepadatannya masih menyebar secara horizontal dengan kepadatan bangunannya yang rata-rata bertingkat rendah. Pembangunan ini menggerus lahan berlebihan dan menyisakan sedikit ruang untuk hunian dan ruang terbuka hijau.

Selain terbatasnya lahan, mahalnya hunian di Jakarta juga disebabkan karena harga tanah yang tinggi. Akibatnya, hunian terjangkau non subsidi yang dibangun pengembang—sebagai pemenuhan kewajiban sosial mereka—berakhir tak efektif.

Sebab, hunian murah di Jakarta di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Contohnya, di Marunda dan Rorotan, Jakarta Utara. Memang harga tanah di lokasi tersebut murah, tetapi jaraknya jauh dari pusat kota dan susah akses transportasi. Ini tidak menarik bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di pusat kota. Padahal, Jakarta sebagai pusat bisnis dipastikan membutuhkan jasa-jasa yang menunjang operasional harian perusahaan.

Masalah lain yang turut membuat hunian di Jakarta mahal yakni perencanaan tata ruang yang kurang visioner. Diterbitkan pada 2014 lalu, rencana tata ruang Jakarta 2030 tidak memiliki visi dan terobosan soal pemanfaatan lahan. Rencana itu dirancang dengan proyeksi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terlalu konservatif.

Populasi Jakarta diperkirakan hanya naik 20% menjadi 12 juta penduduk dari 2014 ke 2030. Prediksi ini bisa jadi benar, mengingat periode 2000-2014 penduduk di kota ini hanya bertambah 20% dari 8,4 juta ke 10 juta.

Perlu dicatat, bahwa dalam periode yang sama, pertumbuhan ekonomi ibu kota justru meroket 187%. Pada periode itu, Jakarta tumbuh pesat sebagai pusat bisnis, tapi warga ibu kota malah pindah ke kota-kota sekitarnya seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, Depok, dan lainnya di mana hunian murah masih dapat ditemukan. Inilah yang luput dari proyeksi tersebut.

Jakarta tentu tidak bisa terus mengandalkan daerah sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hunian untuk penduduknya. Ini berarti bertambah jauhnya jarak dan melelahkannya perjalanan menuju ibu kota. Selain itu, semakin tingginya tingkat kemacetan dan polusi udara di Jakarta. Belum lagi, hilangnya area resapan air dan lahan pertanian di kota sekitar Jakarta.

Oleh sebab itu, langkah pertama adalah memperbaiki perencanaan kota. Pertumbuhan populasi yang terjadi begitu pesat merupakan faktor yang harus ikut dipertimbangkan dan tak bisa dihindari. Untuk itu, Jakarta harus mulai membangun hunian vertikal sebagai penerapan konsep compact city yang dapat menjadi solusi dari permasalahan kota.

Kehadiran MRT Jakarta sebenarnya bisa jadi kunci pemanfaatan lahan ibu kota yang lebih efisien. Ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit atau kawasan TOD.

Aturan ini mendukung pemadatan ruang di simpul-simpul transit. Artinya, Jakarta memiliki kesempatan memanfaatkan lahan di sekitar stasiun-stasiun MRT, LRT, BRT, dan kereta komuter untuk membangun secara vertikal.

Idealnya, bangunan dirancang terpadu dan multiguna untuk masyarakat dengan beragam tingkat penghasilan. Dengan begitu, efek positifnya yaitu terciptanya hunian terjangkau di Jakarta yang terintegrasi dengan transportasi publik dan hadirnya ruang terbuka hijau  di kawasan tersebut. Dengan demikian, persentase pemenuhan ruang terbuka hijau di Jakarta setidaknya dapat menunjukkan peningkatan.

Perencanaan tata kota Jakarta perlu direvisi agar bisa mengadopsi konsep TOD yang ideal sebagaimana diamanatkan oleh Permen No. 16/2017. Revisi tata ruang ini rencananya akan dilakukan pada 2019 yang mengakomodasi tambahan ruang untuk hunian terjangkau di Jakarta. 

Tak cuma perbaikan rencana tata ruang, upaya pelaksanaan vertical development di kawasan TOD Jakarta perlu didukung kebijakan subsidi berupa penyediaan lahan di lokasi strategis. Jika tidak, pembangunan hunian terjangkau di Jakarta akan berakhir di lokasi yang tidak atraktif dan sulit akses transportasi seperti Marunda dan Rorotan.

Masalah ketersediaan lahan strategis ini sebenarnya bisa diselesaikan apabila pemerintah mau melakukan terobosan. Salah satunya, menggandeng BUMN/BUMD untuk mengoptimalisasi aset lahan mereka. Sebab, banyak BUMN/BUMD yang memiliki gedung satu atau dua tingkat di lahan yang cukup luas di Jakarta. Gedung tersebut bisa dimanfaatkan untuk pengembangan bangunan mixed-use. Contohnya, pasar-pasar yang dimiliki BUMD dan terminal.

Bayangkan jika bangunan-bangunan pasar ditinggikan lagi untuk dijadikan rumah susun murah khusus masyarakat kurang mampu di atasnya. Pengerjaannya bisa dilakukan oleh pengembang lewat program kewajiban sosial mereka.

Cara tersebut tentu menguntungkan semua pihak. BUMD/BUMN memperoleh tambahan pendapatan dari optimalisasi penggunaan Koefisien Lantai Bangunan yang digunakan pengembang, kewajiban pengembang terpenuhi, pasar semakin ramai, dan masyarakat mendapatkan hunian murah di lokasi strategis di Jakarta.

Begitu penduduk Jakarta mulai hijrah dari hunian konvensional ke permukiman vertikal di kawasan TOD, bisa dipastikan ada tambahan lahan di ibu kota yang dapat digunakan sebagai ruang terbuka hijau. Tercatat hanya ada 10% ruang terbuka hijau di Jakarta, jauh di bawah target Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yaitu 30%.

Perbaikan rencana tata ruang dan pembangunan hunian vertical di kawasan TOD menghasilkan efisiensi penggunaan lahan, hunian yang terjangkau, dan meningkatkan persentase ruang terbuka hijau di Jakarta. Mari membangun ke atas!

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Interview with Noerzaman, Architect of JPO GBK (Video)
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
View More

News releases

Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
RPTRA Borobudur
DKI Jakarta Visited CLC in Singapore
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute