Opinion – published in CNBC Indonesia
Penyediaan rumah layak huni dan terjangkau adalah permasalahan di Indonesia. Berbagai program yang digulirkan pemerintah tak signifikan untuk mengurangi backlog (selisih angka kebutuhan dengan ketersediaan rumah). Rumah tetap dibangun, tapi jumlah backlog tetap meningkat. Hari Perumahan Nasional 2021 yang jatuh pada 25 Agustus adalah momentum baik bagi para pemangku kepentingan urusan perumahan merumuskan kebijakan holistik yang mencakup semua rantai penyediaan perumahan.
Di Jakarta, misalnya, jika fokusnya mengurangi backlog tanpa kebijakan yang holistik, maka tak akan ada perubahan yang berarti dalam jangka menengah-panjang. Di Jakarta, pengembangan properti di lahan lebih dari 5.000 meter persegi diwajibkan untuk juga membangun rumah susun murah seluas 20 persen dari area komersil. Eksekusi pemenuhan kewajiban ini seringkali melalui proses yang rumit dan berbelit.
Ironisnya, per awal Agustus ini, sekitar 26 ribu unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Pemerintah DKI Jakarta statusnya kosong. Rumah susun Pasar Rumput di Jakarta Selatan yang baru selesai pada September 2019 dibangun juga belum dihuni.
Suplai rumah susun DP nol di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, malah sulit terserap. Data hunian yang diberikan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI Jakarta per 5 Maret 2021, realisasi Rumah DP nol Rupiah yang sudah terjual baru mencapai 681 unit. Jumlah itu tak sampai 1 persen dari target hunian sebanyak 232.214 hunian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2017-2022.
Jika masalah yang sama terjadi di banyak kota di Indonesia, angka backlog yang sering muncul di media massa itu malah menjadi tak relevan. Sebab, terus membangun rumah bukan solusi mengurangi backlog hunian jika tanpa diikuti dengan kebijakan yang menjamin suplai hunian yang ada saat ini terserap. Pemenuhan kewajiban pembangunan rumah susun murah hanya berupa pembangunan konstruksi. Pemerintah yang bertugas memastikan unit rumah susunnya terserap.
Mengurangi backlog dilakukan dengan, langkah pertama, membuat lebih banyak masyarakat layak mendapat fasilitas pinjaman perbankan. Kebijakan keuangan dan skema pinjaman kredit perumahan yang memungkinkan masyarakat mengaksesnya berupa suku bunga kredit yang rendah, nilai minimal uang muka yang diturunkan, dan tenor pinjaman yang memanjang. Langkah ini juga dibarengi dengan menyediakan jenis hunian yang beragam agar bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan calon pembeli. Singapura sudah lebih dulu menerapkan kedua cara tersebut.
Aspek kebijakan terkait pembiayaan perumahan sebenarnya sudah ada dari tingkat nasional dan daerah. Namun, hasil dan dampaknya belum mampu mengatasi masalah backlog perumahan. Sebab, membangun rumah dan proses konstruksinya bisa dilakukan dengan waktu yang singkat. Pembangunan itu akan sia-sia jika suplai rumahnya tetap tak terjangkau masyarakat.
Langkah kedua, menjamin keberlangsungan penghunian wajib dipikirkan pemerintah bahkan sejak konstruksi didirikan. Di rusunawa, masalah tunggakan sewa menjadi topik berita di media massa. Pada Hari Perumahan Nasional ini, sudah selayaknya para pemangku kepentingan memperluas definisi penyediaan hunian bagi masyarakat hingga proses penyerapan oleh pasar dan pengelolaan berkelanjutan—dan bukan lagi sekadar membangun.
Sosialisasi masif mengenai hak dan kewajiban yang harus dipatuhi para penghuni, pemilik, dan penyewa. Contohnya, membayar iuran pengelolaan rutin agar tak ada tunggakan dan menjaga semua fasilitas di area bersama. Pengelolaan profesional juga menjadi syarat mutlak yang harus ada terlepas dari apapun jenis rumah susunnya. Pengelolaan yang buruk menyebabkan kerusakan dan kesia-siaan.
Tak cuma itu, langkah ketiga adalah pemerintah juga harus menjamin ketersediaan lahan untuk dibangun hunian bagi masyarakat kelas menengah dan rendah. Ini bisa dimulai dengan memanfaatkan aset pemerintah tidak optimal seperti pasar. Pasar di bagian bawah dan hunian di bagian atasnya. Terlebih, lokasi pasar milik pemerintah hampir semuanya strategis. Sedangkan rusunawa saat ini lokasinya sangat jauh dari pusat kota. Lagi-lagi, sekadar membangun konstruksi hunian bukan solusi kurangi backlog.
Sebab, harga lahan yang sudah telanjur selangit menyebabkan harga hunian kian mahal. Pemerintah yang menjamin ketersediaan lahan berarti mengikat harga yang akan dibayar calon pembeli dan membuatnya menjadi terjangkau. Sedangkan konstruksinya bisa didanai dan dikerjakan oleh developer swasta dari kewajiban mereka. Dengan catatan, dua langkah teratas—kebijakan holistik hingga memastikan suplai rumah terserap—juga wajib dilakukan demi mewujudkan hunian yang terjangkau bagi banyak masyarakat.