Menerapkan protokol kesehatan dan menjaga jarak, seperti yang diamanatkan oleh pemerintah, tidak diragukan lagi merupakan tugas kita yang paling dasar sebagai warga negara selama pandemi Covid-19. Demi mengutamakan kesehatan masyarakat, pemilik properti mengesampingkan kepentingan bisnis. Akibatnya, mereka sekarang pasrah pada kemungkinan yang tak terhindarkan yakni sepi pengunjung mal, nol okupansi hotel, nol penyelenggaraan pameran.
Pengurangan jumlah karyawan tak terhindarkan, jumlahnya memilukan. Jika terus berlangsung, bukan mustahil usahanya kolaps. Selama masa sulit ini, pemilik properti bertanggung jawab untuk mengamankan pekerjaan karyawan sebanyak yang mereka bisa. Mereka perlu menjaga pendapatan, mata pencaharian, dan martabat para karyawannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemilik properti dengan hormat memohon kepada Pemprov DKI untuk mempertimbangkan pemberian keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Langkah tersebut dapat mencegah kebangkrutan yang lebih parah. Dana yang berasal dari keringanan pajak itu bisa digunakan untuk meringankan beban penyewa properti, membayar gaji pegawai, dan menghentikan pengangguran massal.
Properti komersial seperti hotel, ruang pameran, dan mal mengalami dampak terparah selama pandemi. Ketiga ruang usaha tersebut adalah bisnis dengan biaya tetap yang tinggi, makin diperparah akibat adanya pembatasan sosial. Bahkan tanpa pengunjung dan aktivitas, ketiga properti itu tetap harus mengeluarkan biaya rutin pemeliharaan dasar.
Mungkin pas jika disebut pemilik properti sekarang berdarah-darah. Jumlah wisatawan di Jakarta pada Mei tahun ini turun 87% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut Badan Pusat Statistik. Tingkat hunian hotel berbintang turun ke rekor terendah: masing-masing 12,7% dan 14,5% pada April 2020 dan Mei 2020. Berdasarkan angka tersebut, menutup hotel secara finansial lebih masuk akal ketimbang melayani segelintir tamu. Ruang pameran sudah mati. Restoran, toko, salon, supermarket — yang bisnisnya merosot akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan pemerintah — kini tidak mampu membayar biaya layanan dan sewa.
Bisnis ritel dan lalu lintas di Jakarta anjlok 63% pada 11 April 2020, turun 52% pada 7 Juni 2020, turun 28% pada 11 Agustus 2020, menurut Google Mobility Report. Mal di Jabodetabek dan Surabaya mempekerjakan sekitar 414.700 orang sebagai pemilik toko, juru masak, pelayan, kasir, satpam, sipir parkir, tukang kebun, insinyur, pembersih dan pengelola gedung, menurut perkiraan Jakarta Property Institute (JPI). Ada 80 mal dengan berbagai ukuran di Jakarta yang mempekerjakan 160.000 staf ritel. Sudah banyak dari mereka yang terpaksa dirumahkan, sisanya ketar-ketir karena kondisi perekonomian belum kunjung membaik.
Mereka adalah orang-orang pekerja keras yang bekerja keras di hotel, ruang pameran, dan mal yang kehidupannya menjadi perhatian terbesar pemilik properti; yang mata pencahariannya dijungkirbalikkan dalam semalam oleh PSBB yang diberlakukan pemerintah, dan membuat pemilik properti tak punya pilihan. Saat PSBB dilaksanakan antara 10 Maret dan 23 April 2020, tempat kerja mereka tutup, pendapatan mereka untuk menafkahi keluarga berkurang.
Dengan pemikiran ini, atas nama pekerja yang rentan mata pencahariannya, para pemilik properti, operator mal, hotel dan ruang pameran meminta Pemerintah DKI Jakarta memberikan keringanan total PBB untuk periode PSBB sebelumnya, yang sedang berlangsung dan yang akan datang, jika ada. Keringanan yang sama juga harus berlaku untuk pajak reklame, pajak restoran, dan pajak lainnya. Penyesuaian tarif pajak ini harus diperpanjang untuk periode non-PSBB karena dampaknya masih terasa jelas.
Pandemi ini menuntut perubahan cara pandang DKI Jakarta terhadap properti komersial. Sebab, properti tersebut jauh dari cluster virus, mal dan hotel bisa menjadi lingkungan publik yang paling terkontrol. Bangunan mal dan hotel dikelola secara profesional. Pengelola juga menerapkan standar internasional yang tinggi dan komunikasi data yang transparan untuk menjadikannya cepat tanggap. Bagaimanapun, pengelola properti memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin keselamatan publik sejak awal, bahkan dalam keadaan tanpa pandemi pun. Cluster virus baru faktanya justru ditemukan di lingkungan publik dan privat yang tidak terkontrol.
Industri properti komersial Jakarta sudah terbebani, menjadikannya bisnis yang berisiko untuk dijalani. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) —yang menjadi dasar perhitungan PBB — terus meningkat selama beberapa tahun terakhir meskipun terjadi perlambatan baru-baru ini. Lalu wabah Covid-19 melanda, masalah keterjangkauan menjadi lebih parah.
Bukan cuma saat beroperasi, tantangan bagi sektor properti sudah ada sejak perizinan. Sebagai bagian untuk mendapatkan izin konstruksi, pengembang diwajibkan untuk membangun fasilitas umum dan perumahan murah. Namun, banyak dari kewajiban itu yang pada awalnya tidak dapat dibangun. Akibatnya, perolehan izin konstruksi tertunda hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Di Jakarta, izin pembangunan — atau Izin Mendirikan Bangunan — untuk bangunan komersial memakan waktu setidaknya 21 bulan, jauh lebih lama daripada kota lain, menurut penelitian JPI. Ketidakpastian izin akan menambah tantangan Jakarta dalam menarik investasi setelah pandemi.
Industri properti adalah urat nadi perekonomian Jakarta. Dalam penyediaan ruang, hal itu memicu efek berganda yang berdampak pada 171 sektor di seluruh rantai nilai, dari sektor konstruksi, jasa perbankan, ritel hingga telekomunikasi. Pada tahun 2019, meski sedang mengalami penurunan, industri properti dan konstruksi berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Jakarta: 17% terhadap PDB; 28% dari investasi asing langsung, menurut statistik resmi. Industri properti dan konstruksi mempekerjakan 6% tenaga kerja Jakarta. Ditambah dengan industri ritel, akomodasi, dan restoran — yang semuanya berlangsung didalam bangunan properti— totalnya menjadi 36% tenaga kerja.
Mengingat perannya yang besar, intervensi Pemerintah DKI Jakarta sangatlah dibutuhkan. Jika diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, perekonomian bakal pulih dengan sangat lambat. Contohnya sudah terjadi setelah krisis keuangan tahun 1998. Jakarta menunggu selama tiga tahun hingga adanya pembangunan besar terjadi: Cilandak Town Square. Itupun terlambat tiga tahun! Banyak investor yang telanjur mencari di tempat lain. Masalah keterjangkauan sudah dialami warga, pandemi menambah beban mereka dan memberi lebih banyak alasan untuk melarikan diri dari Jakarta.
Pemilik properti sangat mengapresiasi Pemerintah DKI Jakarta atas diskon PBB pada tahun 2020. Namun faktanya, kenaikan NJOP tetap di luar keterjangkauan; pemilik properti sedang menghadapi ketidakpastian sekarang dan di tahun 2021 dibayangi pengangguran massal. Merosotnya pendapatan pemilik toko, juru masak, pelayan, kasir, penjaga keamanan, sipir parkir, tukang kebun, insinyur, pembersih dan pengelola gedung akan membuat mereka tanpa jaring pengaman dan kehilangan semangat. Penangguhan pembayaran PBB dapat menyelamatkan para pekerja keras itu. Ini darurat. Mari kita bantu mereka bersama.