Saat kita mencari tahu Sertifikat Laik Fungsi (SLF) di dunia maya, jawabannya merujuk pada dua hal. Pertama adalah pengertian dan aturannya, kedua mengenai kasus-kasus seputar SLF. Sayangnya, untuk yang kedua kita lebih banyak menemukan kasus maupun berita yang berindikasi negatif.
SLF merupakan sertifikasi dari Pemda DKI untuk bangunan yang telah memenuhi persyaratan fungsi. Ini wajib dimiliki setiap bangunan sebelum digunakan atau dihuni. Tetapi, keberadaan SLF ini seperti di antah berantah, ada atau tidaknya baru diketahui ketika gedung terkena masalah.
Contoh pada Agustus 2016, sebuah bangunan apartemen terbakar mengakibatkan belasan penghuni terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Ketika kebakaran terjadi, alat pemadam kebakaran dikabarkan tidak berfungsi, elevator pun rusak. Belakangan diketahui gedung apartemen tidak memiliki SLF, bahkan sudah disegel berbulan sebelumnya. Tapi mengapa gedung masih bisa beroperasi?
Ini menjadi tanda tanya, mengingat SLF berdampak pada keselamatan penghuni, namun justru mereka yang paling minim info soal kelayakan huniannya. Miris, konsumen yang mengeluarkan uang ratusan juta demi sebuah hunian justru di posisi paling lemah, menjadi korban rantaian sertifikasi simpang siur.
Tak lama dari insiden tersebut, ramai berita soal pemerintah akan mengumumkan daftar pengembang ‘nakal’ di portal Jakarta Smart City. Kabarnya, banyak gedung di Jakarta tak punya SLF tapi masih tetap beroperasi. Berbulan-bulan sejak kabar beredar, sampai sekarang tak satupun laman di portal tersebut yang merilis data tersebut.
Apa sebetulnya yang menjadi pangkal masalah SLF? Mengapa urusan sertifikasi ini seakan menjadi misteri bagi penghuni? Apa betul kesalahan hanya datang dari pengembang?
Tak banyak yang tahu bahwa tanpa SLF, sebenarnya pengembang merugi. Beberapa contohnya adalah;
Sehingga, ketiadaan SLF menjadi sesuatu yang pengembang hindari. Tanda tanya pun semakin besar. Jika SLF begitu penting untuk pengembang, kenapa disebut banyak yang belum memiliki?
Jawaban yang didapat konsumen ketika bertanya hal ini adalah “sedang dalam proses”. Berapa lama proses yang dibutuhkan? Pengembang pun tidak bisa menjawab pasti, sebab urusan administrasi kembali ke pemerintah.
Hasil riset Jakarta Property Institute menyebutkan untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan saja, terdapat setidaknya 25 aturan yang saling terkait, dimulai dari Undang-Undang hingga Peraturan Gubernur. Belasan diantaranya bahkan diketahui saling bertentangan dan terdapat ketidakjelasan. Jika aturan untuk mendirikan bangunan saja masih bermasalah, bukan tak mungkin hal serupa terjadi untuk mendapatkan SLF.
Inilah concern saya mengenai SLF. Mudah memang memberi cap ‘nakal’ atau menunjuk pengembang sebagai biang keladi masalah gedung. Tapi tanpa evaluasi mendalam dari pemerintah untuk mengetahui akar masalahnya akan berujung sia-sia. Lingkaran setan akan tetap berulang; gedung terbakar, diketahui tak punya SLF, proses SLF yang berbelit.
Aturan yang pasti, pengembang yang taat, dan berjalannya sistem pengawasan serta mekanisme sanksi yang tegas, menjadi tidak terpisahkan. Perlu diingat hakikat SLF, yaitu melindungi penghuni/ konsumen. Jelas, yang konsumen inginkan adalah untuk SLF dapat berfungsi memberikan keamanan dan kenyamanan, bukan ancaman keselamatan dan ketidakjelasan.
Apabila SLF tidak dapat memberikan manfaat bagi konsumen dan justru merugikan pengembang, lalu untuk siapa sebetulnya SLF diterbitkan?