Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan

Agustus 4, 2022

Pemerintah DKI Jakarta sedang mengupayakan perbaikan sistem perencanaan tata ruang melalui revisi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Rencana Detail Tata Ruang adalah rencana terperinci tentang penataan ruang dengan wilayah perencanaan yang dilengkapi dengan peraturan Zonasi.

Sesuai dengan UU Cipta Kerja, peraturan RDTR tidak lagi berbentuk Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ), melainkan Peraturan Gubernur.

Perubahan ini berimplikasi pada Jakarta. Jakarta lebih mudah melakukan revisi terhadap Rencana Detail Tata Ruang Jakarta jika membutuhkan. Sehingga sifat peraturan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) saat ini dapat lebih menyesuaikan keadaan. Selain itu, perubahan lainnya yang signifikan adalah penentuan intensitas bangunan, lebih tepatnya KLB (Koefisien Lantai Bangunan).

Revisi RDTR mengubah apa saja?

Perubahan RDTR menunjukkan bergesernya cara pikir perencanaan kota dari berupa pendataan ke arah analisis. Sebelumnya, RDTR Jakarta memiliki prinsip dasar berupa pendokumentasian. Salah satu contohnya adalah penentuan intensitas bangunan yang hanya dengan menetapkan rata-rata besarannya di tiap wilayah. Dengan adanya revisi RDTR Jakarta, penentuan intensitas bangunan sudah berdasarkan performa wilayah seharusnya.

Apa itu intensitas bangunan?

Salah satu hal yang diatur di dalam RDTR adalah intensitas bangunan. Intensitas bangunan merupakan ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan gedung pada tiap wilayah. Salah satu komponen intensitas bangunan adalah KLB. KLB adalah koefisien dari perbandingan luas seluruh lantai bangunan dengan luas lahan. Intensitas bangunan menjadi acuan jumlah lantai yang boleh terbangun di tiap wilayah. Oleh karena itu, semua pengguna ruang perlu memperhatikan pedoman intensitas bangunan.

Bagaimana penentuan intensitas bangunan mempengaruhi pengembangan kota?

Berdasarkan RDTR, semakin tinggi intensitas bangunan, maka kesempatan membangun ruang secara vertikal lebih besar. Tingginya intensitas mendukung terciptanya compact city dan kota yang berkepadatan tinggi. Hal ini sejalan dengan Perpres no. 60 tahun 2020 tentang RTRW Kawasan Jabodetabekpunjur.

Daya tarik Jakarta meningkatkan kebutuhan ruang, baik sebagai tempat bekerja, rekreasi, maupun tempat tinggal. Ketersediaan lahan yang terbatas semakin lama tidak dapat mengakomodasi kebutuhan ruang. Namun, lahan yang terbatas bukan berarti membatasi penyediaan ruang untuk banyak orang.

Mengapa perlu mengubah penentuan intensitas bangunan?

Dengan adanya RDTR yang baru, penentuan intensitas yang baru dapat menambah potensi ruang terbangun, termasuk suplai hunian vertikal. Lebih dari 40% lahan di Jakarta telah terbangun sebagai hunian, tapi tidak efisien karena berupa rumah tapak. Penentuan intensitas bangunan berdasarkan RDTR Jakarta sebelumnya menghambat pembangunan secara vertikal. Sekarang, penentuan intensitas bangunan dengan mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur.

Sebesar apa perubahan penentuan intensitas bangunan?

Pada RDTR versi terbaru, ketersediaan transportasi massal menjadi pertimbangan utama penentuan intensitas bangunan. Dampaknya cukup signifikan, terutama pada area-area simpul transportasi. Salah satu contohnya adalah wilayah Palmerah yang dengan berlakunya RDTR terbaru intensitas bangunannya telah meningkat hampir tiga kali lipat. Hal ini terjadi akibat wilayah tersebut terlayani seluruh infrastruktur yang menjadi pertimbangan. Adanya perubahan penentuan intensitas bangunan, setelah adanya perubahan RDTR memaksimalkan potensi pengembangan ruang di tiap wilayah.

Intensitas bangunan memperhatikan infrastruktur apa saja?

Penentuan intensitas bangunan berdasarkan RDTR versi terbaru sangat mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur esensial. Berikut adalah infrastruktur yang dimaksud, sesuai dengan urutan pertimbangan terbesar.

  1. Stasiun (MRT, LRT, dan KRL), halte Transjakarta, terminal, dan titik angkutan pengumpan (feeder) yang mendukung kebutuhan mobilisasi penduduk;
  2. Taman yang dapat berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem, penyedia oksigen, dan ruang untuk aktivitas publik;
  3. PAM/jaringan perpipaan air bersih untuk mengurangi penggunaan sumur bor yang berisiko memperburuk penurunan tanah (land subsidence);
  4. Infrastruktur persampahan (TPS, TPS3R, dan FPSA) untuk mengakomodasi pengelolaan dan pengolahan sampah yang meningkat akibat aktivitas yang intens, dan;
  5. Berada di sepanjang jalan arteri atau kolektor.

Pada RDTR yang baru, masing-masing infrastruktur di atas memiliki skor yang jumlahnya akan menentukan besaran intensitas bangunan. Semakin banyak infrastruktur yang tersedia, maka akan memperoleh skor dan intensitas yang semakin besar.

Jika suatu wilayah menambah infrastruktur, apa yang terjadi?

Perolehan besaran intensitas bersifat tidak tetap, melainkan dapat menyesuaikan penambahan infrastruktur sekitar. Lahan dengan infrastruktur minim masih memiliki peluang untuk menambah intensitas. Sebagai contoh, jika suatu wilayah menambah stasiun MRT, maka perolehan intensitas bangunannya akan meningkat.

Pun jika seluruh infrastruktur sudah tersedia, intensitas bangunan masih dapat bertambah dengan memenuhi beberapa kriteria. Kriteria tersebut berguna untuk menilai kemampuan lahan yang meliputi:

  • Tidak berada pada area dataran banjir (floodplain);
  • Tidak berada pada area pesisir;
  • Tidak berada di dekat situ, danau, embung, atau waduk;
  • Tidak berada di wilayah cagar budaya

Jakarta sudah padat, kenapa butuh menambah intensitas lagi?

Perubahan penentuan intensitas bangunan yang dilaksanakan dengan adanya RDTR yang baru justru solusi untuk menambah ruang vertikal guna mengatasi sesaknya Jakarta. Banyak anggapan bahwa Jakarta terlalu padat. Padahal, sebenarnya Jakarta bukan padat, melainkan sesak.

Penyebabnya adalah dominasi bangunan fungsi tunggal (single use) yang tidak optimal. Hal ini memicu terjadinya penjalaran kota (urban sprawl) yang mengakibatkan rendahnya produktivitas warga.

Perubahan intensitas bangunan berdasarkan RDTR yang baru ini mendorong bangunan dengan fungsi tunggal menjadi fungsi campuran (mixed-use buildings). Dengan begitu, urban sprawl dapat dikendalikan dan produktivitas warga akan meningkat. Lahan di Jakarta memang sangat terbatas, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mengusahakan peningkatan ketersediaan ruang.

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Interview with Noerzaman, Architect of JPO GBK (Video)
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
View More

News releases

Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
RPTRA Borobudur
DKI Jakarta Visited CLC in Singapore
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute