5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City

Agustus 2, 2019

Tentu kita sering mendengar Jakarta dijuluki kota megapolitan. Julukan ini identik dengan kesibukan perkotaan yang diwarnai kemacetan, dan hal-hal lain yang menguras keuangan,tenaga, bahkan berdampak pada ranah kehidupan sosial kita. Kota ini memang membuat penduduknya sibuk dan lelah. Lalu, bila sudah seperti ini, apa yang bisa dilakukan? Bagaimana agar Jakarta bebas dari julukan dan segala beban-bebannya? Jawabannya adalah bertransformasi menjadi compact city atau kota padu.

Apa itu compact city?

Compact city adalah kota yang tak menafikan kepadatannya. Namun, tetap memberi kenyamanan untuk dihuni warganya. Compact city tetap menyediakan ruang yang cukup untuk bisa bersosialisasi, bermain, dan menuju ke tempat kerja dengan jarak tempuh singkat bahkan nyaman dengan berjalan kaki.

Compact city intinya berprinsip untuk menata kota sedemikian rupa agar warganya dapat melakukan semua kegiatan dan menjangkau kebutuhan sehari-hari hanya dalam jarak beberapa langkah saja. Nah, berikut adalah 5 keuntungan yang bisa didapat dari compact city.

Mengurangi Penggunaan Kendaraan dan Polusi Udara

Menjadi warga kota besar membuat kita lebih sering menghirup asap daripada oksigen, dan kita semua tahu ini mematikan.

Data WHO menyebut setidaknya 7 juta bayi lahir prematur setiap tahun akibat polusi udara. Bank Dunia bahkan menghitung ongkos kesehatan yang dikuras warga akibat polusi secara global bisa mencapai US$ 225 miliar atau setara Rp 3,127 triliun dengan kurs saat ini! Merujuk data Dinas Transportasi dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, setiap hari setidaknya 15 juta motor dan 5,2 juta mobil lalu lalang di Jakarta dan menyumbang 75% polusi udara ibu kota. Konsep compact city hadir untuk menanggapi isu ini dan mendorong warga untuk berpergian dengan berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum. Tentunya, didukung dengan kemudahan akses dan sarana infrastruktur yang nyaman untuk penggunanya.

Saat semua hal tersebut dipenuhi, warga bakal beralih dari kendaraan pribadi dan tentu polusi akan berkurang di langit kota.

Mendorong Gaya Hidup Sehat dan Aktif

Kondisi jalanan yang tidak nyaman acapkali melahirkan ketergantungan warga untuk menggunakan kendaraan bermotor. Hal ini berbahaya tak hanya buat udara tapi juga tubuh, karena imbasnya kita pun semakin malas bergerak.

Studi Universitas Stanford menyebut bahkan rata-rata orang memilih menggunakan mobil atau motor untuk ke tempat yang berjarak kurang dari 200 meter. Mirisnya lagi, Indonesia berada di peringkat terakhir dari 46 negara soal jumlah rata-rata langkah yang ditempuh penduduk setiap harinya.

Harga dari budaya malas gerak ini mahal, mengakibatkan masalah kesehatan seperti hipertensi dan obesitas. Hipertensi bisa berujung pada serangan stroke, yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Di balik tubuh yang obesitas, tentu ada setumpuk risiko kesehatan yang siap menerjang. Cukup dengan banyak berjalan, semua resiko itu sebenarnya bisa dikurangi.

Interaksi Sosial dan Kolaborasi Lebih Tinggi

Mana yang lebih nyaman, berangkat kerja menempuh kemacetan ditemani bisingnya suara klakson atau berjalan kaki pagi sambil mengobrol santai menuju ke kantor?

Daripada di dalam mobil yang serba tertutup, atau motor yang selalu ingin cepat, jalan kaki memungkinkan kita bertemu dengan kenalan lama atau bahkan baru ketika menuju tujuan yang sama. Komunitas yang mendorong penduduknya berjalan kaki, akan menciptakan warga yang mudah berbaur dengan berbagai latar belakang.

Tidak percaya? Studi seorang peneliti, yakni Donald Appleyard, membuktikan bahwa orang yang menempuh perjalanan ringan bisa dapat rata-rata 3 teman dibanding yang terjebak kemacetan dengan rata-rata hanya 0.9 teman. Contoh lain adalah Irlandia, di mana studi membuktikan bahwa orang yang tinggal di lingkungan ramah pejalan kaki memiliki tingkat bersosialisasi hingga 80% dibanding orang yang hidup di area yang ketergantungan kendaraan. 

Sebab, mengutip Robert Putnam, secara alamiah manusia memang makhluk sosial. Namun, ia mengatakan kehidupan perkotaan telah mengikis manusia dari interaksi sesamanya. Dengan compact city, sifat alamiah ini bisa tumbuh kembali sebab tak ada lagi rumah tapak berpagar tinggi dan ketergantungan dengan kendaraan yang bisa membuat manusia miskin interaksi. 

Trotoar Menarik dan Bonus Wisata Murah!

Salah satu unsur penting compact city adalah menghadirkan trotoar atau area berjalan yang bukan hanya nyaman tapi menarik perhatian, tujuannya tentu agar warga lebih banyak berjalan kaki. 

Seperti yang dilakukan oleh New York, Copenhagen, dan Paris. Trotoar mereka bukan hanya tempat asal lewat tetapi juga tempat singgah para turis. Bahkan, trotoar ikonik seperti Champ Elysees jadi tujuan utama. Trotoar yang sangat lebar memungkinkan kota menghiasnya, bisa dengan taman, kios berdekorasi cantik, dan pastinya ruang yang cukup untuk warga berinteraksi satu sama lain. 

Area tersebut menjadi titik kumpul warga untuk sekedar bercengkerama, ngopi cantik, atau bahkan sambil bekerja. Ketimbang berada di rumah atau kendaraan mereka, warga lebih memilih keluar dan ke jalan untuk mengisi aktivitas sosial mereka. 

Bukan tidak mungkin, jika Jakarta disulap menjadi kota yang lebih ramah pejalan kaki dengan kenyamanan infrastruktur dan aksesoris pelengkapnya, bisa mendatangkan wisatawan ke kota ini. Selama ini, Jakarta hanya bertindak sebagai kota transit sebelum wisatawan beranjak ke destinasi liburan lainnya seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat yang menjadi tiga lokasi wisata paling diminati di Indonesia (berdasarkan BPS tahun 2018). Bisa jadi dengan hadirnya trotoar yang modern dan atraktif, turis akan singgah lebih lama di ibu kota untuk menikmati suasananya. Rasanya bukan hal mubazir untuk investasi dan mulai menerapkannya, ya? 

Membuka Kesempatan Lebih Luas dengan Mobilitas Sosial

Compact city diyakini bisa menghadirkan mobilitas yang bisa memberdayakan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. 

Penataan kota yang tak mempertimbangkan mobilitas akan menghadirkan ketimpangan ekonomi yang lebih lebar. Imbasnya bisa berdampak lebih jauh, seperti akses kepada pendidikan yang hanya akan dinikmati oleh golongan tertentu saja. 

Mengutip penelitian RAND, lembaga penelitian nonprofit dari Amerika, golongan keluarga kaya Indonesia yang hanya 20% dari total penduduk memiliki kesempatan menguliahkan anak mereka ke universitas lebih tinggi, yakni mencapai 49%. Sementara yang lahir di kelompok miskin, hanya punya 7% kesempatan mengakses perguruan tinggi. 

Untuk itulah, investasi menciptakan lingkungan kota yang padu seperti compact city sangat substansial. Penelitian dari American Psychological Association (2008) menunjukkan akses transportasi publik yang baik dan penyediaan sarana pejalan kaki yang memadai bisa membawa dampak nyata dan berkesinambungan untuk mengentaskan kemiskinan. 

Contoh paling utama adalah dengan akses transportasi publik dan jalan yang ramah pengguna, masyarakat kurang mampu akan semakin mudah mendapat akses ke tempat kerja. Sebab, mereka bisa menuju kota dengan mudah dan lebih cepat. Tidak harus mengeluarkan biaya tambahan lainnya, seperti sewa tempat atau berkali-kali naik kendaraan dan bermacet-macetan sehingga membuat mereka lelah, stress, dan tidak optimal dalam bekerja. 

Apalagi, menurut The Socioecological Psychology of Upward Social Mobility adanya penyediaan jalanan yang ramah dan nyaman dapat membangun rasa memiliki terhadap kota yang begitu besar pada warganya dan membuat mereka lebih termotivasi untuk maju. 

Jadi…

Impian untuk memiliki rumah tapak memang sudah susah diwujudkan di Jakarta yang miskin lahan. Namun tenang, bukan berarti impian hidup yang nyaman dan berkualitas sudah luput dari jangkauan. 

Bukti sudah ada, pengalaman sudah teruji bahwa compact city adalah jawaban untuk kota yang lebih layak huni dan manusiawi. Terus bersuara dan berusaha agar kita bisa menciptakan Jakarta yang padu dan menjadi compact city. Silakan kunjungi Instagram kami @jakartapropertyinstitute untuk informasi lebih banyak tentang perkembangan kota layak huni dan kirim surel ke info@jpi.or.id untuk ide dan gagasan.  

Warga Jakarta sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika enggan berjalan kaki karena sarana yang ada memang kurang nyaman. Oleh karena itu, sarana tetap harus diperbaiki dan ditingkatkan karena budaya berjalan kaki tak cuma lahir dari keinginan warga tetapi juga harus didukung pemerintah. Tata kota dan regulasi yang diciptakan harus mampu mendorong kehidupan yang lebih baik dan sehat bagi warganya.

|

Publications

Konversi bangunan kantor menjadi hunian: komparasi mekanisme beberapa negara
Reformasi Pasar Reformasi Kota
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Bermula Dari Perizinan
Esai foto - Penyintas Jakarta
Usulan Perbaikan Perizinan Gedung di Jakarta
Glosarium
Potensi Pemenuhan Kebutuhan Hunian Kelas Menengah melalui Co-residence

Blog/opinion

Jakarta sebagai Kota Global
Solusi Kemacetan di Jakarta: Integrasi BRT, LRT, dan MRT
Cara Naik KRL ke Lebak Bulus dari Berbagai Arah di Jabodetabek
Housing Career di Jakarta: Definisi dan Faktor Penghambatnya
Memahami Pengertian serta Pro dan Kontra Skema KPR 35 Tahun
Nama Baru Halte Transjakarta 2024
Hunian Vertikal: Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal
Taman Kota Jakarta: Akses dan Cara Menuju ke Taman Kota Terpopuler Jakarta
Tempat Weekend di Jakarta: Menengok Kembali Survei JPI 2021
Taman untuk Piknik di Jakarta: Mengintip Wajah Baru TMII dan TIM
Bagaimana Agar Pekerja Jakarta Tinggal di Jakarta?
Memahami Perbedaan Kota Padat (Dense) dan Sumpek (Overcrowded): Jakarta Termasuk yang Mana?
Halte Transjakarta Bundaran HI: Tips Berfoto di Spot Favorit Jakarta
Mixed-Use Building: Memahami Manfaat Konsep Mixed-Use dalam Pembangunan Jakarta
Perubahan Pola Pembangunan Jakarta dari Car-Oriented Menjadi Pedestrian-Oriented City
Transportasi Publik di Jakarta dan Pengembangan Konsep Pedestrian 2023
Cara ke TMII dengan KRL Commuterline dan TransJakarta
Integrasi Transportasi Jakarta dan Keuntungannya bagi Warga
RDTR 2022 dan Aturan Penghuni Rumah Susun
Contoh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) serta Pengertian dan Kegunaannya
Rencana Detail Tata Ruang: Mengubah Jakarta dengan Mengubah Intensitas Bangunan
Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Pengadaannya di Jakarta
Mengatasi Kekurangan RTH di Jakarta dengan Konsolidasi Area Hijau Privat
Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Faktor Penting untuk Mengatasi Darurat Hunian di Jakarta
Pendekatan Pasar untuk Percepat Pelaksanaan Kewajiban Pembangunan Rumah Susun
Menata Senopati, Paduan Kawasan Cagar Budaya dan Pusat Kuliner Semarak
Penyediaan Hunian di Jakarta Butuh Kebijakan Holistik
Tak Hanya Konstruksi, Kebijakan Finansial Krusial bagi Penyediaan Hunian Milik
Empat Hal yang Harus Dipertimbangkan Jakarta Soal Kebijakan Perumahan
Pembangunan Hunian Mixed-Use, Potensi Baru untuk Kota
5 Kebijakan Penyediaan Hunian di Singapura yang Bisa Menjadi Inspirasi bagi Jakarta
Kepadatan atau Overcrowding, Mana yang Harus Dihindari?
Kota Tidak Akan Mati karena COVID-19, Ini Alasannya
Pemecahan Masalah Kolaboratif untuk Mempercepat Izin Konstruksi
Kenapa Jakarta Kekurangan Taman Publik? | Frequently Asked Questions
Konsolidasi Tanah | Frequently Asked Questions
Menyelamatkan Pekerja di Industri Perhotelan yang Rentan Terkena PHK
Hunian di Jakarta - Frequently Asked Questions (Video)
Ini Enaknya Tinggal di Apartemen
Terobosan Tata Ruang Kunci Bangkitnya Ekonomi, Terpenuhinya Hunian
Mewujudkan Apartemen Bersubsidi Melalui Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Penangguhan PBB: Sumber Kehidupan Pekerja Ritel, Hotel, dan Restoran
Urgensi Perpanjangan Masa HGB
Interview with Noerzaman, Architect of JPO GBK (Video)
Cara Membuat Jalan Kaki di Jakarta Lebih Fun (Video)
Penyebab Hunian di Jakarta Mahal
Sektor Properti dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pengertian Transit Oriented Development (TOD) dan Penerapannya di Jakarta
Masalah Parkir di Jakarta | Frequently Asked Questions
Apa Itu Kewajiban Pengembang? | Frequently Asked Questions
Mungkinkah Kita Tinggal di Tengah Jakarta? | Frequently Asked Questions
Mengawal Keberlanjutan MRT Jakarta
Nasib Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19 Ada di Tangan Kita
6 Temuan Penting dari Survei Hunian bagi Milenial
Ketergantungan Ojol, Solusi atau Masalah?
Mengembangkan Bangunan Sehat di Jakarta, Selangkah demi Selangkah
Kelas Menengah yang Terlupakan
Terlalu Padat, Alasan untuk Tidak Bertindak!
Rumah Tapak Sudah Tak Ideal Lagi
Rusun di Atas Pasar, Potensi Baru untuk Kota
Jakarta yang Lebih Kompetitif (Video)
Suka Duka Tinggal Dekat dengan Tempat Kerja di Jakarta
Lahan BUMD, Alternatif yang Atasi Darurat Hunian
Dekat, Nyaman, Murah di Jakarta.... Jangan Harap!
Perangi Macet Lewat Hunian Padat (Video)
Yuk Kita Bangun Jakarta ke Atas (Video)
5 Manfaat Bertransformasi jadi Compact City
Demi Hunian Terjangkau & Ruang Hijau, Jakarta Harus Membangun ke Atas!
Ingin Sudirman-Thamrin Lebih Lancar? Mari Kita Ubah Kebijakan Parkirnya (Video)
Sudahkah Infrastruktur Transportasi Jakarta Berpihak pada Kaum Wanita?
Bisakah MRT Jakarta Lebih Unggul dari Singapura?
Mensiasati MRT Minim Subsidi
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Menaikkan Peringkat Kemudahan Berbisnis dengan Perbaikan RDTR
Inovasi Pengadaan Ruang Publik sebagai Bentuk Investigasi Desain
Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Kolaboratif
9 Hal Penting Mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Kontribusi Swasta dalam Membangun Pedestrian Jakarta
Kendala Pengembang dalam Mengurus SLF
Sertifikat Laik Fungsi: Untuk Siapa?
Perlunya Revisi Peraturan Keselamatan Bangunan terhadap Bahaya Kebakaran
Swasta Bantu Pemprov DKI Jakarta Atasi Backlog Perumahan
Kegiatan Usaha Dihentikan: Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Bantuan
Konsolidasi Tanah Solusi Housing-for-All di Jakarta
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta serta Solusinya 
Apa itu SHM (rumah milik)
Apa itu SHM: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan Rumah Milik
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
Beli atau Sewa Rumah: Kelebihan dan Kekurangan Rumah Sewa
View More

News releases

Minatkah Milenial Terhadap Hunian Vertikal?
DKI Siapkan Regulasi Pemanfaatan Ruang untuk Hadapi Tantangan Pandemi Covid-19
Cara Mengurangi Kemacetan di Jakarta, Pemerintah Bisa Terapkan Solusinya
Manfaat, Syarat, dan Cara Mengajukan KPR Bersubsidi FLPP
Sektor Properti Bersiap Hadapi The New Normal Setelah Pandemi Covid-19
Pulihkan Ekonomi, DKI Jakarta Percepat Perizinan Gedung Menjadi 57 Hari dari 360 Hari
RPTRA Borobudur
DKI Jakarta Visited CLC in Singapore
Diskusi JPI: Proses Perancangan dan Benturan Peraturan Jadi Kendala Utama
Centre for Liveable Cities Singapura Berikan Pelatihan untuk BPTSP DKI Jakarta
JPI Dorong Pemerintah Benahi Aturan Izin Mendirikan Bangunan
Carlo Ratti: Inovasi dan Teknologi untuk Menjawab Tantangan Perkotaan
Belum Ada Inovasi Perizinan, DKI Jakarta Turun ke Peringkat Empat Kemudahan Berbisnis di Indonesia
JPI Inisiasi Lari "Ciliwung Punya Kita"
JPI Bantu Fasilitasi Penyusunan Rapergub Prasarana Minimal Jakarta Demi Jakarta yang Berkelanjutan
Jakarta Vertikal, Jakarta Terjangkau
Skema Pembangunan yang Berpihak pada Warga
Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Kota
Kombinasi Kantor dan Rumah, Pilihan Tempat Bekerja Setelah Pandemi
Kerja Sama: Kunci Keselamatan Transportasi Publik di Masa New Normal
Masalah Hunian pada Kelas Menengah di Jakarta Serta Solusinya
Rusunawa: Melihat Lebih Dekat Opsi Rumah Layak Huni Terjangkau di Jakarta
MRT Jakarta Kembangkan Kawasan TOD, Berikut Lokasinya
Masa Berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) Serta Cara dan Syarat Perpanjangannya
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Memahami Pengertian, Syarat, dan Manfaat IMB
JPI Gandeng Asosiasi Profesi Susun Policy brief Penataan Kota
Kondisi Terkini Penyediaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta
Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence
View More
Copyright © Jakarta Property Institute