Kelas menengah berkontribusi pada pembangunan kota dengan segala aktivitas perekonomian yang mereka lakukan. Sayangnya, mereka masih harus berjuang sendiri untuk mendapatkan pelayanan dasar dari sebuah kota.
Seharusnya, kota bisa menjamin kesejahteraan warganya mulai dari tingkat yang paling sederhana. Tempat tinggal, akses kesehatan, pendidikan, serta lapangan kerja yang layak menjadi modal utama untuk merintis kehidupan dan perekonomian yang lebih baik. Keempat poin ini tercermin dalam variabel kota layak huni berdasarkan Livability.com (sebuah situs urban asal Amerika Serikat). Selain keempat poin tersebut, situs ini juga menyebut beberapa poin lainnya, seperti fasilitas, demografi, modal sosial dan kemasyarakatan, serta transportasi dan infrastruktur.
Poin-poin ini dianggap sebagai unsur pembentuk keberlangsungan kota dan dijadikan parameter untuk menentukan peringkat 100 kota paling layak huni di AS. Masing-masing poin saling berkaitan satu sama lain. Misalnya, tanpa adanya fasilitas yang mumpuni, aktivitas ekonomi yang sehat tidak mungkin tercipta. Sebaliknya, perekonomian yang kuat tentu turut menentukan kemampuan kota untuk berinvestasi pada fasilitas, infrastruktur, pendidikan, serta pelayanan kesehatan bagi warganya.
Menyumbang tapi terabaikan
Sayangnya, hingga hari ini, Ibu Kota ternyata masih susah payah mewujudkan hidup nyaman bagi penghuninya. Terutama, kepada mereka yang tak berkelebihan harta. Nyatanya, Jakarta masih menanggung selisih kekurangan hunian sebesar 1.276.424 unit dari hasil pendataan tahun 2015 silam. Padahal, tempat tinggal merupakan kebutuhan yang amat mendasar. Keterbatasan unsur pembangun kota ini dirasakan oleh semua warga yang menghuninya, termasuk oleh kalangan kelas menengah.
Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB, 2010), kelompok kelas menengah adalah kelompok yang memiliki pengeluaran per kapita harian sebesar US$2 – US$20. Jika dikonversikan ke dalam kurs rupiah, maka jumlah pengeluaran minimumnya setara dengan Rp 850.000 per bulan. Merujuk kepada data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2019, tercatat ada 88,68% penduduk DKI Jakarta yang termasuk ke dalam golongan ini dan kemudian dapat disebut sebagai kelompok kelas menengah ibu kota.
Kelas menengah dianggap mampu untuk turut menyumbang iuran kesehatan, pajak, dan aneka retribusi ke dalam anggaran pembelanjaan daerah. Seharusnya kemandirian ekonomi ini tak membuat mereka luput dari pelayanan optimal oleh pemerintah. Justru, partisipasi yang dibayarkan oleh kelas menengah ini sedianya bisa memberikan timbal balik berupa fasilitas umum yang layak. Sebut saja jalan yang mulus, ruang terbuka hijau yang bersih dan asri, juga moda transportasi yang andal.
Perekonomian yang kuat menentukan pelayanan kota
Sementara di Jakarta, poin-poin kelayakan huni kota masih mengalami dinamika tersendiri. Pada lini pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah hadir untuk meringankan biaya pengobatan sesuai dengan ketentuan. Layanan ini masih berjalan sejak tahun 2014, walau belakangan menuai kontroversi seputar utang yang ditanggungnya. Jaringan transportasi kini sedang mengalami perkembangan pesat dengan adanya integrasi Jak-Lingko dan TransJakarta, juga pengoperasian MRT serta LRT. Perkembangan ini tak terpisahkan dari segala intrik yang turut menyertainya, seperti masalah kemacetan dan penyesuaian jalur di jalan raya.
Jikapun faktor kelayakan huni sudah ditepati, peran pemerintah tak cukup berhenti sampai di situ. Setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi, penghuni kota juga perlu ruang untuk berkreasi dan berekspresi. Ruang publik yang memadai pun masih jadi pekerjaan rumah untuk pemerintah Jakarta. Selayaknya seluruh fasilitas ini dapat ditanggung oleh pemangku kepentingan agar senantiasa terpelihara dan terjangkau oleh siapa saja, termasuk kelas menengah. Sebab, kota yang berfungsi dengan baik tentu merupakan kebutuhan mendasar bagi seluruh lapisan masyarakat. Tak terkecuali bagi kelas menengah yang menyumbang tenaga besar dalam menggerakkan roda perekonomian negara.