Sudah terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi 12 November 2022
Revisi aturan penataan kota Jakarta melalui Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR 2022) membawa angin segar bagi terwujudnya hunian vertikal terjangkau. Cita-cita menghadirkan hunian terjangkau itu bisa terwujud dengan catatan: regulasi yang mengatur penghuni rumah susun atau hunian vertikal yang ada saat ini juga perlu direvisi.
Revisi aturan penghuni rumah susun diperlukan lantaran salah satu perubahan terbesar pada RDTR terbaru Jakarta adalah Jakarta akan menjadi kota dengan konsep pembangunan dengan fungsi campuran (mixed-use) di satu kawasan. RDTR 2022 kini menetapkan banyak lahan di Jakarta berubah dari fungsi tunggal menjadi fungsi campuran.
Potensi masalahnya muncul saat kelak semakin banyak hunian vertikal, tapi regulasinya belum selaras tujuan Jakarta untuk memperbanyak konsep mixed-use. Konsep mixed-use memungkinkan warga Jakarta tinggal di hunian vertikal, bekerja, dan beraktivitas di satu kawasan. Konsep tersebut memungkinkan masyarakat—yang selama ini terpaksa tinggal di pinggir kota karena mahalnya harga hunian di Jakarta—bisa kembali tinggal di Jakarta.
Di Jakarta, penghunian rumah susun diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 70 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik. Agar terhindar dari masalah dengan efek bola salju di masa mendatang, setidaknya ada tiga poin yang perlu direvisi pada aturan tersebut.
Pertama, hak suara pemilihan. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 70, hak suara pemilihan dihitung berdasarkan suara terbanyak. Pemilik hanya mempunyai satu hak suara meski memiliki lebih dan 1 (satu) satuan rumah susun di dalam bangunan yang sama.
Padahal, pada rumah susun dengan konsep fungsi campuran (mixed-use), pengelolaan yang berada di bawah satu Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) yang sama justru menimbulkan tata kelola yang buruk. Pembangunan dengan konsep campuran memiliki cara pemeliharaan yang berbeda untuk tiap fungsinya. Penghuni unit rumah susun tidak bisa mengambil keputusan untuk pemilik pusat perbelanjaan atau kantor yang berada di bagian bawah gedung. Hal yang sama pun berlaku sebaliknya.
Kedua, pemutusan fasilitas dasar. Pasal 102 C dalam beleid itu menyebut jika terjadi permasalahan di lingkungan rusun, PPPSR atau pengelola dilarang melakukan tindakan pembatasan atau pemutusan fasilitas dasar. Pemutusan fasilitas dasar seperti listrik dan air bersih berhubungan dengan kewajiban dan hak penghuni unit rumah susun.
Penghuni rumah susun perlu memahami kewajiban dan haknya untuk menjamin terjaga dan terpeliharanya bangunan gedung hunian vertikal. Larangan pemutusan fasilitas dasar justru menimbulkan ketidakadilan bagi penghuni yang taat aturan. Pasal 102C berpotensi dimanfaatkan penghuni yang tidak bertanggung jawab untuk sengaja tidak membayar iuran pengelolaan. Perlu ada penyelesaian khusus untuk tiap masalah yang terjadi di hunian vertikal.
Ketiga, masa transisi pengelolaan. Peraturan Gubernur Nomor 70 menyatakan masa transisi dari Developer ke PPPSRS adalah satu tahun sejak penyerahan pertama kali sarusun kepada pemilik. Masa transisi tersebut terlalu singkat. Praktiknya, periode terjualnya unit rumah susun sangat beragam. Saat kondisi perekonomian turun, laju penjualan melambat. Di sisi lain, developer harus tetap merawat dan memelihara unit rumah susun yang belum terjual agar tetap laku. Penyerahan pengelolaan rumah susun ke PPPSRS dalam waktu singkat berpotensi menghasilkan tata kelola yang tidak kompeten dan berakibat pada tidak terawatnya fasilitas di rumah susun.
Hunian vertikal adalah masa depan Jakarta. Pembenahan regulasi PPPSRS makin diperlukan agar kepercayaan masyarakat terhadap hunian vertikal meningkat. Harga rumah tapak kian mahal dan tak lagi terjangkau. Kebijakan perumahan dari pemerintah pun saat ini baru menyasar Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Masyarakat di luar kelas tersebut, pemenuhan huniannya diserahkan pada mekanisme pasar.
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Rumah Tipe Kecil, menurut catatan Bank Indonesia, sejak tahun 2012-2021 tercatat lebih tinggi dibandingkan rumah tipe sedang dan besar. Jika data tersebut diproyeksikan hingga tahun 2045, maka indeks harga rumah kecil akan meningkat hingga 3,5 kali lipat dibandingkan indeks pada tahun 2012.
Kebijakan penyediaan hunian bukan sekadar menentukan zonasi tata ruang dan membangun konstruksi. Rantai panjang penyediaan hunian terjangkau wajib mempersiapkan proses penghuniannya. Sudah saatnya Jakarta berhenti membuat kebijakan yang bersifat “mengobati” saat masalahnya telanjur kompleks. Cita-cita besar RDTR 2022 untuk menciptakan hunian terjangkau patut didukung oleh regulasi lainnya. Jika tidak, hunian vertikal yang terjangkau di Jakarta akan tetap menjadi angan-angan semata.