Seperti ambisi Presiden Jokowi untuk Indonesia, Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno juga berambisi meningkatkan peringkat Jakarta pada Indeks Kemudahan Berbisnis atau Ease of Doing Business (EODB).
Sandiaga ingin Jakarta turut aktif raih target EODB Indonesia di peringkat 40. Padahal, dalam dua tahun terakhir Indonesia hanya mampu naik peringkat dari 91 ke 72.
Terlalu ambisius kah? Mungkin. Kenapa mungkin?
Indeks EODB adalah peringkat satu sampai 190 yang dikeluarkan Bank Dunia untuk menggambarkan lingkungan kebijakan yang kondusif untuk memulai dan melakukan bisnis di suatu negara tertentu.
EODB menjadi salah satu pertimbangan investor ketika hendak berinvestasi ke suatu negara. Adanya investasi sendiri dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memberi lapangan pekerjaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara.
Sulitnya berbisnis di Jakarta
Tahun 2017, Asia Competitiveness Institute (ACI) merilis Ease of Doing Business Index on Attractiveness to Investors, Business Friendliness, and Competitive Policies (EDB Index ABC). Indeks ini menilai kemudahan berbisnis dengan menghitung statistik ekonomi dan menggabungkan pandangan dari 925 pelaku bisnis di 34 provinsi di Indonesia.
Walau peringkat Indonesia cukup menggembirakan, Jakarta ternyata tertinggal dari provinsi lain. Menurut data ACI, tahun 2017 Jakarta menduduki peringkat empat, turun dua peringkat dibanding tahun 2015. Posisi Jakarta dikalahkan Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang saat ini menempati posisi pertama, kedua dan ketiga.
Lalu, apa yang perlu dilakukan pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk mewujudkan ambisi ini?
Sebetulnya, jawabannya mudah. Mari mulai dari yang paling dasar dan sederhana. Pemerintah daerah tak perlu membuat inovasi muluk-muluk atau menganggarkan APBD fantastis. Pemerintah daerah hanya perlu memberikan kemudahan dalam memberikan izin bagi yang patuh hukum.
Pemerintah menjanjikan waktu 8 bulan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan di atas delapan lantai dengan luas lahan di atas 5.000 meter persegi. Namun, kenyataannya butuh waktu rata-rata 21 bulan bagi satu pengembang untuk mendapatkan izin tersebut, walaupun sudah mengikuti semua proses dengan baik.
Ketidakpastian seperti ini mematahkan semangat para investor untuk berinvestasi di Jakarta, terutama investasi dalam industri properti yang notabene menyumbang hampir 20 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Jakarta.
Perlunya kepastian hukum demi kemudahan berbisnis
Lamanya proses perizinan ini salah satunya diakibatkan oleh banyaknya hal-hal yang dimintakan secara berulang.
Pemerintah daerah memiliki Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang (Perda RDTR) no. 1 tahun 2014 yang menjadi acuan arah pembangunan Jakarta. Bila proses pembuatan RDTR tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek dan kajian, seharusnya para pengembang hanya perlu mengikutinya saja ketika ingin membangun lahan atau properti.
Hanya saja, praktik di atas masih jauh dari ideal. Pengembang tetap diminta untuk membuat kajian sendiri walaupun sudah mematuhi isi RDTR.
Misal, pengembang ingin membangun kantor di atas lahan yang peruntukkannya memang untuk perkantoran dengan intensitas 4 sesuai Perda RDTR. Pengembang tetap diharuskan untuk menyerahkan kajian lingkungan, dampak lalu lintas, dan banjir.
Seharusnya, kajian-kajian di atas sudah termasuk ketika penggodokan RDTR berlangsung.
Saya paham bahwa Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang baru menangani perizinan ingin benar-benar memastikan keabsahan dokumen dan bahwa pembangunan tersebut tidak akan berdampak negatif.
Namun, alangkah baiknya bila pemerintah percaya diri dengan kajiannya sendiri dan berpegang teguh pada hal tersebut. Dengan perizinan yang lebih efisien, investor pasti akan datang dengan sendirinya, apalagi bila mengingat pasar domestik Jakarta yang masih sangat kuat.
Bolanya sekarang ada di tangan pemerintah. Apakah ingin gerak cepat untuk menuju peringkat EODB 70, atau hanya sekedar berharap. Pemerintah dapat memulainya dengan memperbaiki RDTR yang sudah ada, tanpa harus menggunakan APBD.