Jakarta termasuk dalam jajaran kota termahal di dunia untuk memiliki hunian. Laporan Bank Dunia berjudul Time To Act yang dirilis tahun 2019, menunjukkan bahwa rasio harga rumah per pendapatan penduduk Jakarta adalah 10,3. Ini lebih tinggi bahkan dibandingkan London (8,5), New York (5,7), dan Singapura (4,8).
Ada tiga hal utama yang membuat harga hunian di Jakarta sangat mahal: batasan luas lantai yang boleh dibangun; berbelitnya perizinan pembangunan Gedung; dan tidak dimanfaatkannya dana kewajiban swasta untuk membangun hunian terjangkau. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu mengadopsi pola pikir perkotaan dan kolaborasi dengan pihak swasta.
Pertama, pembatasan luas lantai yang boleh dibangun sama saja dengan membatasi penawaran (supply) hunian. Padahal permintaan (demand) untuk tinggal di Jakarta sangat tinggi. Menurut hukum pasar, kalau penawaran tidak bisa mengimbangi permintaan, maka harga akan naik. Celakanya, kalau pengembang ingin menjawab permintaan masyarakat dengan membangun lebih dari yang diperbolehkan, maka denda untuk kelebihan pembangunan telah menanti.
Pemerintah daerah, melalui Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), membatasi luas lantai yang boleh dibangun dengan alasan terbatasnya daya dukung kota. Padahal, pemerintha kota sangat bisa meningkatkan daya dukung kota, antara lain dengan membangun transportasi publik yang cepat dan massal, menyalurkan air bersih dengan perpipaan, dan menyediakan ruang terbuka hijau. Kegagalan meningkatkan daya dukung kota akhirnya berakibat pada terbatasnya supply hunian untuk masyarakat.
Pemerintah sejauh ini telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menambah luas lantai. Namun, kebijakan ini belum memiliki visi dan masih dianggap sebagai disinsentif.
Kedua, proses perizinan pembangunan gedung besar (lebih luas dari 5.000 meter persegi) sangat berbelit, memakan waktu, dan akhirnya mengakibatkan biaya tinggi. Proses perizinan satu gedung bisa memakan waktu tahunan.
Semua ini tentu berdampak pada naiknya biaya konstruksi. Dan siapa lagi yang akhirnya menanggung biaya tambahan tersebut, kalau bukan masyarakat pembeli hunian? Jakarta Property Institute (JPI) memperkirakan, proses mengurus IMB berkontribusi pada naiknya harga rumah atau apartemen yang dibeli masyarakat dari developer, sekitar 8%. Ini bukan jumlah yang sedikit.
Ketiga, lamanya dan tersendatnya pemenuhan kewajiban dan kontribusi untuk hunian terjangkau. Developer wajib membiayai dan membangun rumah susun murah siap huni setara dengan 20% dari luas area komersial yang dibangunnya.
Masalahnya, tidak mudah bagi pengembang untuk melaksanaan kewajiban tersebut. Lahan untuk membangun rumah susun harus disediakan pemerintah, tapi pemerintah tidak bisa menyediakan lahan yang cukup untuk memenuhi banyaknya kewajiban yang harus ditunaikan. Akibatnya, terjadilah penumpukan utang pengembang untuk membangun rumah susun yang berpengaruh pada lamanya waktu mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) gedung, yang ujung-ujungnya mengakibatkan pengoperasian gedung tertunda. Jumlah hutang pengembang ini pun tidak sedikit. Beberapa sumber mengatakan nilainya lebih dari Rp 11 triliun.
Berpikir urban
Penyediaan hunian terjangkau dan berlokasi di dalam kota bukanlah mimpi. Kalau kita bisa mengurai, faktor-faktor yang membuat hunian mahal, tentu masalahnya bisa diselesaikan. Biaya konstruksi relatif sama saja baik di pusat kota Jakarta maupun di Kabupaten Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Yang membedakan adalah harga tanah.
Untuk mensiasati tingginya harga tanah di Jakarta, maka luas lantai dan jumlah unit hunian yang dibangun di suatu persil harus diperbanyak, sehingga harga per meter persegi atau harga per unit hunian relatif lebih terjangkau. Dengan pola pikir perkotaan atau urban, yang disebut “rumah” tidak harus berupa rumah tapak. Sebuah unit rumah susun atau apartemen juga rumah.
Oleh karena itu, pemerintah di kawasan perkotaan harus lebih banyak mengedepankan konsep hunian vertikal yang compact dengan memaksimalkan tanah yang ada. Tanah-tanah di wilayah strategis, seperti pasar dan dekat stasiun harus berfungsi dan berpendapatan campuran (mixed-use and mixed-income). Sehingga, penghuni mudah terhubung dengan berbagai tempat strategis di kota tersebut melalui transportasi publik massal.
Kolaborasi
Siapapun Warga Negara Indonesia boleh memiliki tanah. Di kebanyakan kota, hampir setiap jengkal tanah sudah dimiliki oleh warga masyarakat, lembaga-lembaga negara, maupun badan usaha milik negara dan milik daerah. Kalau diinventarisir, pemerintah atau negara punya banyak tanah (land bank) di perkotaan. Namun pertanyaannya, apakah tanah-tanah yang dimiliki pemerintah sekarang sudah digunakan optimal? Banyak yang under-utilized.
Kolaborasi antara pemerintah dan swasta dapat menjadi terobosan penyediaan hunian terjangkau di perkotaan. Kenapa tidak kita membangun kawasan mixed use di tanah pemerintah? Biaya konstruksinya dari kewajiban pengembang yang tinggal ditagih saja. Mari berpikir bangunan vertikal. Di lantai bawah: pasar atau terminal. Di lantai atas: rumah susun yang ditinggali masyarakat dari berbagai kelompok pendapatan. Di sekitarnya: ruang terbuka hijau dan berbagai fasilitas umum dan sosial. Tidak jauh dari sana: simpul transportasi massal.Ini adalah win-win solution yang membutuhkan biaya minim, tapi memberi dampak positif yang besar. Pengembang siap dikoordinasi. Siapkah pemerintah memimpin proses koordinasinya?