Co-residence: Potensi Baru Penyediaan Hunian di Jakarta
JAKARTA – Ketua Kelompok Ilmu Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia Joko Adianto mengatakan co-residence merupakan salah satu solusi penyediaan hunian atas keterbatasan dan mahalnya harga lahan di Jakarta. Co-residence memungkinkan lebih banyak orang tinggal di lahan yang sama dengan meningkatkan ketinggian bangunan.
“Wujudnya sebaiknya hunian vertikal karena Jakarta sudah terlalu mahal untuk membangun rumah tapak,” kata Joko pada konferensi pers “Potensi Pemenuhan Permintaan Rumah bagi Kelas Menengah dengan Tipe Co-residence”, Selasa, 4 Juli 2023.
Joko menjelaskan, co-residence merupakan cara bertempat tinggal serupa dengan konsep multi-family housing. Satu bangunan terdiri dari beberapa kepemilikan dengan adanya ruang bersama dan ruang privat. Pemiliknya bisa mengalihkan hak kepemilikannya ke pihak lain.
Perbedaan co-residence dengan tipe hunian vertikal lainnya adalah inisiator. Co-residence berasal dari inisiatif dan hasil swadaya masyarakat, serta ketinggian bangunannya hanya sekitar empat lantai. Sedangkan hunian vertikal yang ada saat ini dibangun pengembang atau pemerintah dan berupa tower rumah susun atau apartemen dengan ketinggian lebih dari 15 lantai.
Menurut Joko, co-residence menghasilkan setidaknya dua manfaat bagi kota. Pertama, menambah pasokan hunian terjangkau. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi DKI Jakarta (RPJMD) 2017-2022 menargetkan terbangunnya 250.000 unit hunian layak dan terjangkau. Simulasi potensi penyediaan jumlah unit hunian dengan penerapan co-residence di lahan seluas 360 hektare dengan luas per unitnya 36 meter persegi menunjukkan 280.000 unit hunian bisa dibangun. Angka tersebut didapat jika hunian
dibangun secara vertikal setinggi 4 (empat) lantai.
Kedua, menambah pendapatan daerah berupa pajak dan pendapatan lainnya melalui peningkatan konsumsi harian masyarakat. Co-residence memungkinkan masyarakat, yang pindah ke luar Jakarta karena mahalnya hunian, bisa kembali ke Ibu Kota.
Joko yang juga peneliti Adjunct Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengatakan penataan ulang tata atur zonasi bersifat signifikan agar dapat mengadaptasi tipe hunian co-residence. Selama ini, zonasi untuk perumahan hanya diperuntukkan bagi keluarga tunggal. Sedangkan konsep co-residence membutuhkan pengukuhan regulasi bagi perumahan untuk keluarga jamak (multi-family housing) ke dalam tipe hunian yang kelak diterjemahkan ke dalam peraturan zonasi Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
Selain itu, kata Joko, pembangunan hunian dengan tipe co-residence membutuhkan penyesuaian pada aspek tata ruang, sekaligus aspek sosial, pembiayaan dari perbankan, sistem kepemilikan termasuk sewa jangka panjang, dan perizinan.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto mengatakan co-residence
menambah opsi hunian yang mempermudah masyarakat memilih tipe hunian yang mereka sanggupi. Co-residence juga sudah dilaksanakan di negara-negara Eropa dan termasuk pula Amerika Serikat. Sebab, kondisi yang terjadi saat ini yakni ketidaksesuaian antara harga suplai hunian yang ada di pasar dengan kemampuan masyarakat. “Masyarakat butuh lebih banyak tipe hunian,” kata Wendy.
Wendy mengatakan pengakuan legalitas dan kepastian hukum co-residence dari pemerintah bisa menjawab isu keterbatasan dan mahalnya harga lahan di Jakarta. Konsep co-residence menekankan pada potensi dari keswadayaan masyarakat. “Masyarakat bukan lagi sebagai objek dari pembangunan, tapi merupakan subjek dalam penyediaan hunian,” kata dia.
Selain itu, mahalnya harga hunian di Jakarta, Wendy melanjutkan, membutuhkan inovasi kebijakan lintas sektor pemerintahan. Salah satunya bisa dimulai dari pembangunan hunian terjangkau di lahan hasil konsolidasi, pembangunan hunian terjangkau dengan pembiayaan kreatif, hingga inovasi kebijakan finansial berupa bunga khusus bagi produk hunian terjangkau.
Menanggapi Joko dan Wendy, Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah DKI Jakarta Iwan Kurniawan mengatakan penyediaan hunian di Jakarta melalui co-residence merupakan salah satu bagian dari rangkaian housing continuum. “Konsepnya cocok dengan kultur atau budaya Bangsa Indonesia yang senang tinggal bersama dengan kerabat atau keluarga besar,” kata Iwan.
Untuk mewujudkan arah pembangunan kota di bidang perumahan dan permukiman, Iwan menjelaskan, Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta telah membuat pengaturan bahwa rumah tinggal dapat dibangun hingga 4 lantai dengan syarat dan ketentuan tertentu untuk mendorong optimalisasi lahan.
Adapun kepemilikan bersama seperti kepemilikan multi-family housing atas satu bangunan (rumah flat), Iwan melanjutkan, diperlukan terobosan pengaturan mengenai kepemilikan atas bangunan gedung. “Termasuk pula, butuh peran serta dari JPI dan akademisi serta asosiasi profesi dalam mengembangkan konsep co-residence,” ujar Iwan.
Senada dengan Iwan, Sub Koordinator Urusan Perencanaan Permukiman Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Sapta Satria Putra mengatakan konsep co residence memberi pemahaman lebih mendalam terhadap potensi pembangunan perumahan di Indonesia, khususnya bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebutuhan warga Jakarta terkait perumahan tergambarkan dengan baik sehubungan dengan dinamika yang terjadi dalam kota Jakarta.
Sapta mengatakan ide-ide terkait ruang, ranah kepastian menghuni rumah, fasilitas permukiman dan usulan konstruktif dalam kajian dapat dijadikan pijakan bagi perumusan kebijakan di masa mendatang. “Kami menyambut lebih banyak lagi partisipasi masyarakat dalam ide pembangunan perumahan di Jakarta,” ujar Sapta.