Indonesia merupakan salah satu di antara beberapa negara di dunia dengan biaya hidup yang mahal. Salah satu indikatornya yaitu price-to-income ratio Indonesia yang nilainya 13,81. Angka yang menjadi indikator keterjangkauan harga rumah ini mengejutkan. Indonesia berada jauh di belakang Malaysia dan Jepang yang secara berturut-turut rasionya 9,77 dan 11,25. Semakin tinggi rasionya, semakin tidak terjangkau harga rumahnya.
Contoh mahalnya harga rumah terlihat di Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Para muda-mudi (millenials) tak mampu membeli rumah di pusat kota. Fenomena ini membuat bagian pusat kota terus-menerus semakin kosong karena penyebaran penduduk ke wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali.
Akibat penyebaran penduduk itu, perjalanan panjang dan macet untuk pergi ke pusat kota menjadi tak terelakkan. Lahan-lahan subur yang kosong di tengah kota juga berubah menjadi hutan beton.
Untuk menekan penyebaran penduduk ini, bagaimana cara untuk membuat tata ruang Jakarta menjadi padat dan harga rumah menjadi terjangkau bagi semua orang?
Salah satu cara mencegah terus melambungnya harga rumah yakni menambah kebutuhan lantai yang tersedia. Jakarta harus membangun ke atas (vertikal), karena lahan semakin langka. Rata-rata Koefisien Lantai Bangunan di Jakarta masih 2, sedangkan Singapura koefisiennya 9. Peraturan yang berlaku di Jakarta belum sepenuhnya mendukung pembangunan vertikal dan pembangunan yang padat. Dengan kata lain, koefisien lantai bangunan, yang berefek pada pasokan perumahan, sengaja dibatasi.
Jakarta Property Institute berpartisipasi secara aktif pada dialog tentang kebijakan yangakan menambah koefisien lantai bangunan. JPI juga bekerja sama dengan para ahli, para praktisi dan Pemerintah Daerah pada TOD (Transit Oriented Development), peraturan zonasi, dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).